Jakarta, Jurnas.com - Sebuah penelitian terbaru dari Wake Forest University School of Medicine mengungkap bahwa lingkungan tempat seseorang tinggal bukan hanya memengaruhi kenyamanan hidup, tetapi juga bisa membentuk cara kerja otak manusia.
Riset tersebut menemukan bahwa orang yang tinggal di wilayah tertinggal menunjukkan perubahan pada struktur otak yang berkaitan dengan meningkatnya risiko demensia.
Temuan ini menegaskan bahwa kesehatan otak tidak hanya ditentukan oleh faktor genetik atau gaya hidup, melainkan juga oleh kondisi sosial dan lingkungan sekitar.
Penelitian melibatkan 679 peserta dewasa dari program Healthy Brain Study, yang menjalani pemindaian otak dan tes darah. Hasil pemindaian menunjukkan adanya tanda-tanda awal Alzheimer, yang ternyata berkorelasi dengan kondisi sosial dan kualitas lingkungan tempat tinggal mereka.
Para ilmuwan menilai data menggunakan tiga ukuran utama, Area Deprivation Index (ADI), Social Vulnerability Index (SVI), dan Environmental Justice Index (EJI) — untuk menggambarkan tingkat ketimpangan ekonomi, sosial, dan lingkungan di suatu daerah.
Lingkungan dengan tingkat polusi tinggi, akses terbatas terhadap layanan publik, serta tekanan sosial yang besar terbukti berdampak langsung pada kesehatan otak.
Para peneliti mencatat adanya penipisan korteks, gangguan aliran darah otak, dan sirkulasi yang tidak merata — kondisi yang dikenal sebagai tanda awal gangguan kognitif.
Dampak paling parah dialami peserta yang tinggal di wilayah dengan skor kerentanan tertinggi. Mereka menunjukkan jejak biologis stres kronis berupa kerusakan jaringan otak dan gangguan sistem vaskular.
Kondisi tersebut diyakini bukan muncul secara tiba-tiba, melainkan hasil dari kebijakan publik yang timpang selama bertahun-tahun — seperti segregasi wilayah, zonasi industri, dan minimnya investasi pemerintah di sektor masyarakat.
Menurut Sudarshan Krishnamurthy, penulis utama studi ini, berbagai faktor seperti kualitas udara, keamanan perumahan, akses terhadap makanan sehat, hingga peluang ekonomi memiliki pengaruh besar terhadap kesehatan otak.
“Temuan ini menunjukkan bahwa kondisi dan lingkungan tempat seseorang tinggal dapat meninggalkan jejak yang bertahan lama pada kesehatan otak,” ujar dia dikutip Earth, pada Kamis (23/10).
Krishnamurthy menambahkan bahwa peningkatan kesehatan otak masyarakat tidak cukup hanya dilakukan melalui pendekatan medis. Ia menekankan perlunya intervensi kebijakan lingkungan, seperti tata kota yang lebih baik, sistem transportasi yang sehat, serta penyediaan ruang terbuka hijau.
“Faktor sosial berbasis lokasi mungkin sebagian dapat mencerminkan dampak dari rasisme struktural terhadap kesehatan otak,” ujar dia.
Para peneliti menilai bahwa indeks seperti ADI, SVI, dan EJI dapat membantu pemerintah dalam memetakan daerah-daerah yang paling rentan dan membutuhkan perhatian segera. Dengan pendekatan berbasis data, sumber daya dapat dialokasikan lebih adil dan efektif.
Langkah konkret seperti pengendalian polusi, peningkatan kualitas udara, serta pemerataan akses layanan kesehatan menjadi bagian penting dari strategi perlindungan otak jangka panjang.
Upaya ini tidak hanya menjadi tanggung jawab tenaga medis, tetapi juga arsitek kota, lembaga pendidikan, dan para pembuat kebijakan.
Ke depan, tim peneliti berencana memperluas kajian dengan melibatkan lebih banyak peserta dari beragam latar belakang serta melakukan pemantauan jangka panjang. Mereka juga akan meneliti apakah pindah ke lingkungan yang lebih sehat dapat menurunkan risiko demensia.
Penelitian ini membuka cakrawala baru dalam memahami hubungan antara kondisi sosial, interaksi budaya, dan hubungan antarmasyarakat sebagai benteng alami terhadap dampak negatif lingkungan.
Sumber: Earth