• News

Pengamat: Kawan Israel Tinggal Donald Trump, Senjata, dan Bom

Aliyudin Sofyan | Kamis, 16/10/2025 20:13 WIB
Pengamat: Kawan Israel Tinggal Donald Trump, Senjata, dan Bom Seorang gadis memegang bendera Palestina, setelah Israel dan Hamas menyepakati fase pertama gencatan senjata Gaza, di Jalur Gaza tengah, 9 Oktober. Foto: REUTERS

JAKARTA - Perdamaian di Gaza, Palestina, sekalipun berjalan belum ideal, setidaknya telah menyelamatkan jutaan warga sipil dari kematian. Itu adalah target paling strategis dari perdamaian.

Presiden Prabowo dalam momen KTT Gaza, 13 November 2025, hadir tidak saja turut membangun dinding keselamatan dengan komitmen mengirimkan 20 ribu prajurit TNI sebagai pasukan penjaga perdamaian, tetapi lebih dari itu telah membawa Indonesia naik kelas dalam kancah percaturan global.

“Sebaliknya, dunia menyaksikan bahwa KTT Gaza ini sesungguhnya menurunkan kelas Israel sekaligus mengunci negara penjajah tersebut agar tidak melawan dunia, seperti yang diucapkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump,” kata Ple Priatna, Direktur Eksekutif Center for Diplomacy di Jakarta, Kamis (16/10/2025).

Menurut Priatna, politik bumi hangus Netanyahu sepanjang dua tahun,  pembangkangan diplomatik, agresi militer, pembunuhan massal melalui genosida, ethnic cleansing serta menggunakan kelaparan sebagai senjata mematikan warga sipil Gaza ini, tidak disadari Israel bahwa memicu secara fatal respons solidaritas kemanusiaan global sekaligus meruntuhkan eksistensi diplomatik Israel.

Akibat dari politik bumi hangus Netanyahu, saat dua awak kapal Global Sumud Flotila dari Colombia ditangkap, Presiden Colombia membalas dengan mengusir semua diplomat Israel di Bogota sekaligus membekukan hubungan dagang dan perjanjian perdagangan bebas kedua negara.

“Netanyahu telah membawa Israel menuju kehancuran total, demikian kritik keras Prof. Eran Yashiv dan Prof Daniel Tsiddon, pakar politik warga Yahudi di Inggris dan Tel Aviv,” kata Priatana.

Kritik Eran dan Daniel dari komunitas Yahudi ini terbukti benar. Tindakan membabi buta Israel kali ini tidak hanya mengagetkan tapi ternyata menggugah empati dan membangkitkan gelombang kejut,  respons lintas generasi dari seluruh  belahan dunia, atas tindakan yang dilakukan Netanyahu dan Zionis Israel.

Tak kurang kelompok warga mewakili Yahudi Dunia belakangan ini turut  menyampaikan protes kepada PM Netanyahu. Mereka berkirim surat protes kepada Netanyahu berisi empat tuntutan:

1) memulihkan secara permanen dan memungkinkan penyediaan makanan dan bantuan kemanusiaan bagi penduduk Gaza;

2) mengakhiri perang;

3) menegakkan hukum di Tepi Barat; dan

4) memegang janji bahwa baik Anda maupun anggota pemerintahan Anda tidak akan lagi menganjurkan kebijakan kelaparan atau pengusiran sebagai senjata perang. 

Mantan diplomat ini juga menjelaskan, respons dunia terhadap tindakan Israel pun berdatangan bak rolling snowball yang menggulung Israel.

Sembilan negara melakukan pemutusan hubungan diplomatik dengan Israel, menarik pulang duta besarnya atau lakukan pengusiran, persona non grata diplomat Israel.

Bahrain, Chad, Chili, Honduras, Yordania, Afrika Selatan, dan Turki, memanggil pulang duta besar mereka dari Tel Aviv.

Sementara Belize, Bolivia, Kolombia, dan Nikaragua memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel. Irlandia menutup kedutaan besar Israel menjadikannya museum Palestina.

Badan hukum dunia, ICC, mengeluarkan surat perintah penangkapan pada Netanyahu dan Yoav Golan sebagai pelaku kejahatan kemanusiaan. 

“Ini keputusan berani Mahkamah Internasional (ICJ) yang sangat bersejarah, pertama kali PM dan Menhan Israel menjadi buron untuk diadili di Den Haag,” tuturnya.

Pada 22 Juli 2025, lanjut alumnus FISIP UI ini, sekitar 28 negara, termasuk Inggris, Jepang, dan sejumlah negara Eropa, mengeluarkan pernyataan bersama yang menyerukan kepada Israel bahwa perang di Gaza harus diakhiri sekarang. Ini menandai contoh terbaru dari meningkatnya kritik dari sekutu Israel.

Pernyataan bersama yang ditandatangani oleh para menteri luar negeri negara-negara tersebut mengutuk keras penyaluran bantuan secara bertahap sebagai bentuk pembunuhan tidak manusiawi terhadap warga sipil, termasuk anak-anak, yang berupaya memenuhi kebutuhan paling dasar mereka akan air dan makanan.

“Presiden Komisi Uni Eropa Ursula von der Leyen menyerang Israel dengan mengatakan peristiwa di Gaza, kelaparan sebagai senjata telah mengguncang hati nurani dunia,” tegas alumnus Monash University-Clayton Australia ini.

Sehari kemudian, kata Priatna, 314 mantan diplomat dan pejabat Eropa menulis surat kepada von der Leyen dan kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa Kaja Kallas untuk membuat sanksi politik yang lebih keras, termasuk penangguhan kerjasama Uni Eropa dan Israel.

“Israel terisolasi dan menjadi negara paria. Berkawan akrab dengan Trump, dikawal puluhan jenis senjata dan ribuan bom, tidak membuat Israel bisa membeli reaksi dunia padanya,” tegasnya.

“Bayangkan seorang Netayahu harus terbang melipir dilangit biru yang kosong, dengan penuh ketakutan akan diintersep, dipaksa turun dan ditangkap. Pesawat yang membawa ke New York harus memutar menambah 4 jam penerbangan, menghindari langit Irlandia, Norwegia, Denmark, Perancis, dan Spanyol,” imbuhnya.

“Ini lebih menyakitkan, saat Netanyahu naik ke mimbar Pidato di sidang Majelis Umum PBB September lalu,  lebih dari 77 negara anggota delegasi,  termasuk Indonesia, serentak walked out dan meninggalkan Netanyahu berbicara dalam ruang dan deretan kursi kosong,” lanjut Priatna.

Menurutnya, itu merupakan sebuah pukulan diplomatik yang sangat memalukan dan penolakan bersama ala joint demarche dari sedikitnya 77 negara terhadap sikap Israel.

Demikian juga, saat ini ada 14 negara, bergabung dengan Afrika Selatan terus menggugat Israel ke Mahkamah Internasional. Presiden Afrika Selatan menyatakan dengan lantang bahwa gugatan terhadap Israel tidak berhenti sekalipun perdamaian sedang berlangsung di Gaza.

Di tengah itu, Pemerintah Inggris, Australia, Kanada, dan Selandia Baru bahkan menjatuhkan sanksi terhadap sikap ekstrim kanan Menteri Israel Ben Gvir dan Menteri Smotrich, larangan untuk masuk ke negara tersebut termasuk membekukan asetnya.

“Gelora pengakuan pada Palestina yang dilakukan negara pemegang hak veto, Perancis dan Inggris, bersanding dengan Spanyol, Norwegia, Irlandia, Slovenia, Australia, Kanada, Portugal, Belanda, Belgia, Luksemburg hingga Malta dan Andora menjadi bukti genosida Netanyahu tidak lagi bisa diterima nurani dan akal sehat,” tutur Priatna.

 

Kawan Israel tinggal Trump, Senjata, dan Bom

Priatna mengatakan, tidak mengejutkan sebanyak 159 negara mengakui Palestina dan hanya sekitar 10 negara yang menolak mengakui, dua di antaranya AS dan Israel.

Dunia pun mengambil jarak kedekatan dengan Israel bahkan pengakuan kepada Palestina meningkat termasuk gelombang boikot dan isolasi tidak hanya pada pemerintah Netanyahu tapi pada perusahaan Israel dan afiliasinya. “Jelas dunia memberi respons atas super jumawa pemerintah Netanyahu termasuk tingkah ekstrimis Ben Gvir dan Smotrich.”

“Norwegia menarik dana pensiun fund yang ditanam di aktivitas bisnis Israel. Uni Eropa membekukan kerjasama senilai 14 juta Euro,” ujar Priatna.

Bagi Priatna, perdamaian Gaza ini momentum besar untuk tidak saja menyelamatkan warga Palestina, dari kematian disebabkan aksi genosida, tapi juga guna mewujudkan masa depan Palestina.

Peace Gaza Plan 2025 dan momen bangkitnya rekognisi Palestina harus diarahkan segera untuk melakukan dua hal yang sangat esensial  tidak saja bagi Palestina, tapi juga fundamen bagi solusi dua negara.

Pertama, Palestina harus diberikan status menjadi anggota penuh PBB, tidak lagi berstatus hanya sebagai observer permanen.

Kedua, status yang diberikan dan melekat hanya sebagai Otoritas Palestina (PA) harus diubah dan bergeser menjadi State of Palestine.

“Dari dua hal itu lagi-lagi pastinya hanya Israel dan AS, dengan segala cara akan mementahkan sekaligus menolak tuntutan logis pasca pengakuan ini dengan segala argumentasi memuakkan,” katanya.

Menurutnya, perang diplomasi di medan laga badan PBB tampaknya akan terus berlangsung di tengah tahapan perdamaian Gaza  yang juga tidak boleh terhenti atau gagal.

“Presiden Prabowo dan pemerintah Indonesia ke depan menjelang kembali masa krusial memasuki tahapan kedua atau ketiga perdamaian Gaza, perlu segera menyiapkan siasat menghadapi penolakan Trump atas dua fundamen pengakuan yaitu Palestina sebagai anggota penuh PBB dan label otoritas tidak lagi digunakan tapi berubah menjadi state of Palestine,” jelas Priatna.

“Negara Palestina berdiri berdaulat sebelum solusi dua negara ini di terima atau ditolak Israel,” tambahnya.

Priatna menyindir, memasuki tahun 2026 kawan Israel hanya tinggal Presiden Trump, senjata, dan bom, karena opini dunia dan dukungan diplomatik tidak lagi berpihak pada Israel.

Menurutnya, Indonesia tidak perlu terburu-buru terobsesi berpikir membuka hubungan diplomatik dengan Israel, entitas negara fasis militeristik di luar komunitas peradaban, yang sama sekali tidak penting dan tidak bermanfaat bagi Indonesia.

“Delapan puluh tahun merdeka tanpa hubungan diplomatik dengan Israel, Indonesia tetap berkibar, disegani dan dihormati warga dunia,” pungkas Priatna.