JAKARTA - Dalam kehidupan sehari-hari, banyak umat Islam yang berusaha menjaga keikhlasan dalam beramal agar terhindar dari sifat riya, yaitu perbuatan yang dilakukan karena ingin dipuji oleh manusia, bukan semata-mata karena Allah SWT.
Namun, sebagian orang justru menjadi terlalu takut dianggap riya hingga enggan berbuat baik di depan orang lain.
Padahal, tidak semua amal yang terlihat oleh orang lain tergolong riya. Selama niatnya tetap karena Allah, amal tersebut tetap bernilai ibadah dan menjadi bagian dari dakwah kebaikan.
Riya berasal dari kata رَاءَى - يُرَائِي - رِيَاءً, yang berarti memperlihatkan sesuatu kepada orang lain agar mendapat pujian. Rasulullah SAW menyebut riya sebagai “syirik kecil”, karena seseorang tidak lagi beribadah dengan niat murni kepada Allah, melainkan mencari pengakuan manusia.
Dalam hadis riwayat Ahmad, Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكَ الْأَصْغَرُ، قَالُوا: وَمَا الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ؟ قَالَ: الرِّيَاءُ
“Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan atas kalian adalah syirik kecil.” Para sahabat bertanya, “Apakah syirik kecil itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Yaitu riya.” (HR. Ahmad)
Banyak amal saleh yang sebenarnya tidak termasuk riya, tetapi sering dianggap demikian karena dilakukan secara terbuka.
Misalnya, seseorang bersedekah di depan umum untuk mengajak orang lain ikut beramal, mengunggah kegiatan ibadah di media sosial dengan niat menginspirasi, atau membaca Al-Qur`an di masjid dengan suara jelas agar jamaah lain bisa ikut mendengarkan.
Selama niat utamanya bukan mencari pujian, melainkan untuk menyebarkan kebaikan dan memberi teladan, maka amal tersebut justru berpahala besar.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
وَإِن تُبْدُوا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ ۖ وَإِن تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ
“Jika kamu menampakkan sedekahmu, maka itu baik. Tetapi jika kamu menyembunyikannya dan memberikannya kepada orang fakir, maka itu lebih baik bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 271)
Ayat ini menunjukkan bahwa menampakkan amal tidak selalu berarti riya. Yang menentukan nilainya adalah niat di hati. Jika tujuannya untuk memberi motivasi, bukan pamer, maka amal itu tetap diterima di sisi Allah SWT.
Ikhlas berarti melakukan sesuatu hanya karena mengharap ridha Allah, tanpa mengharapkan pujian, kedudukan, atau balasan dari manusia. Sedangkan riya muncul ketika seseorang merasa senang karena amalnya diketahui orang lain dan ia berharap mendapat sanjungan.
Seorang ulama besar, Imam Al-Ghazali, menjelaskan bahwa perbedaan antara keduanya terletak pada getaran hati. Jika kehadiran orang lain membuat semangat seseorang dalam beribadah meningkat karena ingin menunjukkan amalnya, maka itu riya. Tetapi jika kehadiran orang lain membuatnya termotivasi untuk memberi contoh kebaikan, maka itu dakwah melalui amal.
Rasulullah SAW mengajarkan doa untuk menjaga hati dari niat yang tercampur dengan riya.
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ شَيْئًا أَعْلَمُهُ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لَا أَعْلَمُهُ
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari mempersekutukan-Mu dengan sesuatu yang aku ketahui, dan aku memohon ampun kepada-Mu atas apa yang tidak aku ketahui.” (HR. Ahmad)
Doa ini mengingatkan bahwa menjaga keikhlasan adalah perjuangan hati yang terus-menerus.
Riya bukan terletak pada tampaknya amal di mata manusia, melainkan pada niat di dalam hati. Menyembunyikan amal memang lebih baik, tetapi menampakkan amal dengan niat yang benar juga bisa menjadi ladang dakwah dan pahala yang besar.
Allah SWT berfirman:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya amal perbuatan tergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)