JAKARTA - Dalam kehidupan, setiap manusia pasti pernah merasakan titik paling sulit, rasa putus asa, kesepian, kegagalan, atau beban berat yang tampak tiada ujung.
Di saat-saat genting seperti itu, Islam mengajarkan agar hati tak patah, melainkan mengangkat doa sebagai pengikat harapan. Doa di titik terendah bukan sekadar permintaan, ia adalah suara hati yang mengakui kelemahan dan berserah penuh kepada Allah SWT.
Salah satu doa yang sering diajarkan Rasulullah SAW ketika menghadapi kesulitan adalah:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ، وَالْعَجْزِ وَالْكَسَلِ، وَالْجُبْنِ وَالْبُخْلِ، وَضَلَعِ الدَّيْنِ وَغَلَبَةِ الرِّجَالِ
Allāhumma innī a‘ūdzu bika minal-hammi wal-ḥazani, wal-‘ajzi wal-kasali, wal-jubni wal-bukhli, wa ḍala‘i’d-dayni wa ghalabati’r-rijāl.
Artinya: “Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kesusahan dan kesedihan, dari kelemahan dan kemalasan, dari sifat pengecut dan bakhil, serta dari lilitan utang dan tekanan manusia.” (HR. Bukhari, Muslim)
Doa lain yang sering dibaca ketika hati resah atau beban menekan adalah Doa Qurb, doa yang diucapkan Nabi dalam masa sulit:
لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ الْعَظِيمُ الْحَلِيمُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَرَبُّ الْأَرْضِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيمِ
Lā ilāha illallāhu al-‘aẓīmu al-ḥalīm, lā ilāha illallāhu rabbul-‘arshi al-‘aẓīm, lā ilāha illallāhu rabbus-samāwāti wa rabbul-arḍi wa rabbul-‘arshi’l-karīm.
Artinya: “Tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah Yang Maha Agung lagi Maha Penyantun; Tiada Tuhan melainkan Allah, Rabb ‘Arsy yang Agung; Tiada Tuhan selain Allah, Rabb langit dan bumi serta Rabb ‘Arsy yang mulia.” (Diriwayatkan bahwa Nabi SAW sering mengucapkannya ketika tertimpa kesulitan)
Tidak hanya doa-doa tersebut, Allah SWT dalam Surat Ghāfir berfirman agar hamba-Nya tak segan berdoa:
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ
Wa qāla rabbukum ud‘ūnī astajib lakum
Artinya: “Dan Tuhanmu berfirman: ‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkan bagimu.’” (QS. Al-Ghāfir: 60)
Ayat ini memantapkan bahwa doa manusia senantiasa didengar—meski jawabannya datang dengan bentuk yang mungkin berbeda dari apa yang diharapkan.
Doa pada keadaan paling sulit memiliki makna ganda: ia menunjukkan pengakuan bahwa manusia lemah tanpa pertolongan Allah, sekaligus pengikatan hati agar tetap berpegang pada iman dan harapan. Melalui doa, seseorang meneguhkan bahwa meski dunia terguncang, harapannya tetap tertuju pada Allah.
Doa juga menjadi tempat jatuhnya kelembutan hati: tempat melepaskan beban pada Yang Maha Mendengar. Ketika lidah tak mampu mengurai keresahan, hati bisa berbicara melalui doa. Bahkan ketika tangis tertahan, doa menjadi penggetar batin yang disambut langit.
Dalam riwayat hadits, Rasulullah SAW mengajarkan doa agar seseorang tak diletakkan pada dirinya sendiri, meskipun hanya sekejap mata:
“Wahai Yang Maha Hidup, Yang terus-menerus mengurus makhluk-Nya, dengan rahmat-Mu aku memohon pertolongan; perbaikilah seluruh urusanku, dan janganlah Engkau biarkan aku mengurus diriku sendiri walaupun sekejap mata.”
Hadits ini mengingatkan bahwa manusia setiap waktu membutuhkan uluran rahmat Allah, agar tidak tenggelam dalam kelemahan diri sendiri.
Banyak orang menunggu mukjizat besar saat titik terendah tiba—kesabaran diuji, jiwa terasa lelah, jalan tampak tak jelas. Lebih dari itu, doa menjadi pintu kecil yang lebih sering terbuka daripada pintu kesuksesan instan.
Ketika hati yang rapuh menemukan lafaz pengaduan, doa bekerja tanpa riuh, membisikkan bahwa Dia hadir di setiap sunyi.
Dalam panggung dunia yang sering menjanjikan jawaban cepat, kita perlu diingatkan bahwa kadang jawaban itu datang melalui kehati-hatian, kesabaran, atau perubahan diri yang perlahan.
Doa di titik terendah adalah pengingat bahwa Yang Maha Kuasa tak pernah meninggalkan hamba-Nya, namun jalan-Nya tak selalu seperti bayangan manusia.