JAKARTA - Dalam keseharian, umat Islam kerap menemui kondisi yang membuat pelaksanaan shalat tepat waktu menjadi sulit.
Contohnya saat sedang melakukan perjalanan jauh, bekerja di luar ruangan, atau menghadapi cuaca yang tidak bersahabat. Situasi seperti ini sering menimbulkan pertanyaan: apakah shalat Zuhur dan Ashar boleh dilakukan secara bersamaan (jama’)?
Dalam ajaran Islam, penggabungan dua waktu shalat memiliki aturan tersendiri yang didasarkan pada Al-Qur’an, hadis, serta pandangan para ulama.
Istilah jama’ merujuk pada pelaksanaan dua shalat wajib dalam satu waktu. Rasulullah SAW pun pernah mencontohkan praktik ini dalam kondisi-kondisi tertentu.
Dalam hadis riwayat Imam Muslim disebutkan:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: صَلَّى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا، وَالْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ جَمِيعًا، فِي غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا سَفَرٍ
“Dari Ibnu Abbas, ia berkata: Rasulullah SAW pernah menjama’ antara shalat Zuhur dan Ashar, juga Maghrib dan Isya, bukan karena takut atau karena bepergian.”
(HR. Muslim)
Dari hadis ini, ulama kemudian menafsirkan bahwa penggabungan shalat boleh dilakukan dalam kondisi tertentu, bukan untuk kebiasaan sehari-hari.
Dua Bentuk Jama’: Taqdim dan Takhir
Jama’ Taqdim
Yaitu menggabungkan dua shalat di waktu yang pertama. Misalnya, shalat Zuhur dan Ashar dikerjakan bersama di waktu Zuhur.
Syaratnya, shalat dilakukan secara berurutan (Zuhur lebih dulu), dan niat jama’ harus sudah ada sejak shalat pertama.
Jama’ Takhir
Yaitu menggabungkan dua shalat di waktu yang kedua. Contohnya, shalat Zuhur ditunda lalu dikerjakan bersama Ashar di waktu Ashar.
Cara ini biasanya dilakukan oleh orang yang sedang dalam perjalanan jauh (musafir) atau keadaan mendesak.
Para ulama sepakat bahwa jama’ boleh dilakukan dalam keadaan darurat atau uzur syar’i, seperti:
Sedang dalam perjalanan jauh (musafir)
Rasulullah SAW sering menjama’ shalat ketika bepergian. Misalnya saat perjalanan menuju Tabuk, beliau menggabungkan Zuhur dengan Ashar, dan Maghrib dengan Isya.
Ketika hujan deras atau cuaca ekstrem
Dalam riwayat Imam Malik dan Ahmad, Rasulullah SAW juga pernah menjama’ shalat di Madinah saat hujan lebat, agar umat tidak kesulitan ke masjid dua kali.
Dalam kondisi darurat tertentu
Ulama membolehkan jama’ bagi orang yang sakit, perempuan yang sulit menjaga waktu karena kondisi tertentu, atau orang yang bekerja di tempat dengan waktu terbatas, selama niatnya bukan untuk meninggalkan shalat secara sengaja.
Namun, jama’ tidak boleh dijadikan kebiasaan tanpa uzur, karena shalat memiliki waktu yang sudah ditetapkan oleh Allah. Dalam QS. An-Nisa: 103, Allah SWT berfirman:
إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَّوْقُوتًا
Artinya: “Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang telah ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.”
Pendapat Ulama Tentang Jama’
Mazhab Syafi’i dan Hambali: membolehkan jama’ dalam kondisi hujan, safar, sakit, atau keadaan mendesak.
Mazhab Maliki: membolehkan jama’ bagi musafir dan hujan, tetapi tidak bagi alasan selain itu.
Mazhab Hanafi: hanya membolehkan jama’ dalam keadaan haji di Arafah dan Muzdalifah, tidak dalam kondisi lainnya.
Artinya, hukum jama’ Zuhur dan Ashar tidak mutlak boleh setiap saat, tetapi diperbolehkan jika terdapat alasan syar’i dan dilakukan sesuai tata cara yang benar.
Menggabungkan shalat Zuhur dan Ashar merupakan keringanan (rukhshah) yang diberikan Allah SWT bagi hamba-Nya dalam kondisi sulit. Islam adalah agama yang penuh rahmat, tidak memaksa umatnya di luar kemampuan.
Namun, jika tidak ada halangan, sebaiknya setiap Muslim tetap melaksanakan shalat pada waktunya masing-masing, sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Isra: 78:
أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَىٰ غَسَقِ اللَّيْلِ
Artinya: “Dirikanlah shalat sejak tergelincirnya matahari sampai gelapnya malam.”
Dengan menjaga waktu shalat, seorang Muslim menjaga kedisiplinan, ketaatan, dan keintiman hubungannya dengan Allah SWT.