JAKARTA - Nabi Ibrahim AS dikenal dalam sejarah Islam sebagai sosok yang mendapat gelar Khalilullah atau kekasih Allah, sebuah gelar yang menunjukkan kedekatannya dengan Sang Pencipta. Julukan ini diberikan karena keteguhan iman dan ketaatan beliau yang luar biasa dalam menjalankan perintah Allah, tanpa sedikit pun keraguan.
Sejak masa mudanya, Nabi Ibrahim sudah menunjukkan keberanian dalam menentang tradisi penyembahan berhala yang dianut oleh kaumnya. Dengan penuh keyakinan, beliau menyeru umatnya untuk meninggalkan berhala dan kembali menyembah hanya kepada Allah yang Maha Esa.
Hal ini ditegaskan dalam firman Allah yang tercantum dalam QS. Al-An’am: 79:
إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا ۖ وَمَا أَنَا۠ مِنَ ٱلْمُشْرِكِينَ
Artinya: “Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku kepada Allah yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.”
Ayat ini menggambarkan keteguhan Nabi Ibrahim dalam menolak segala bentuk kesyirikan dan berpegang teguh hanya kepada tauhid.
Salah satu peristiwa paling monumental dalam kehidupan Nabi Ibrahim adalah ketika Allah menguji beliau dengan perintah untuk menyembelih putranya, Nabi Ismail. Kisah ini tercatat dalam QS. Ash-Shaffat: 102–107:
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ ٱلسَّعْيَ قَالَ يَـٰبُنَىَّ إِنِّىٓ أَرَىٰ فِى ٱلْمَنَامِ أَنِّىٓ أَذْبَحُكَ فَٱنظُرْ مَاذَا تَرَىٰ ۚ قَالَ يَـٰٓأَبَتِ ٱفْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِىٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّـٰبِرِينَ
فَلَمَّآ أَسْلَمَا وَتَلَّهُۥ لِلْجَبِينِ
وَنَـٰدَيْنَـٰهُ أَن يَـٰٓإِبْرَٰهِيمُ
قَدْ صَدَّقْتَ ٱلرُّءْيَآ ۚ إِنَّا كَذَٰلِكَ نَجْزِى ٱلْمُحْسِنِينَ
إِنَّ هَـٰذَا لَهُوَ ٱلْبَلَـٰٓؤُا۟ ٱلْمُبِينُ
وَفَدَيْنَـٰهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ
Artinya: “Maka ketika anak itu sampai pada umur sanggup berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: ‘Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!’ Ia menjawab: ‘Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.’ Maka ketika keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipisnya, Kami panggillah dia: ‘Wahai Ibrahim, sungguh engkau telah membenarkan mimpi itu.’ Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.”
Kisah ini menjadi teladan luar biasa tentang ketaatan Nabi Ibrahim dan keikhlasan Nabi Ismail. Perintah yang begitu berat diterima dengan sabar, hingga akhirnya Allah menggantinya dengan hewan sembelihan sebagai bentuk rahmat.
Pengorbanan Nabi Ibrahim tidak berhenti sebagai kisah sejarah semata. Hingga hari ini, umat Islam mengenangnya melalui dua ibadah utama: haji dan kurban.
Haji mengingatkan kita pada perjalanan Nabi Ibrahim dan keluarganya di Makkah, sedangkan kurban menjadi simbol ketulusan dan kepatuhan kepada Allah.
Hari raya Idul Adha setiap tahun adalah momen untuk merefleksikan kembali nilai pengorbanan, keikhlasan, dan keimanan yang diwariskan oleh Nabi Ibrahim. Sosoknya tetap menjadi panutan sepanjang zaman, mengajarkan bahwa cinta kepada Allah harus ditempatkan di atas segalanya.