JAKARTA - Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Eddy Soeparno menegaskan parlemen harus mengambil peran strategis dalam mendorong percepatan transisi energi dan aksi iklim yang lebih nyata. Hal ini harus dilalukan sebagai upaya menghadapi dampak krisis iklim yang semakin meluas.
Hal tersebut disampaikan Eddy Soeparno saat menjadi narasumber dalam diskusi bertajuk “Peran Strategis Parlemen dalam Aksi Iklim: Kolaborasi untuk Masa Depan Indonesia” yang digelar Fraksi PAN DPR RI. Hadir mendampingi Eddy Soeparno Duta Besar Inggris untuk Indonesia Dominic Jermey dan Ketua Fraksi PAN DPR RI Putri Zulkifli Hasan.Dalam paparannya, Eddy menyoroti ketergantungan Indonesia yang masih sangat besar pada energi fosil, khususnya batu bara. Padahal Indonesia mempunyai potensi sumber energi terbarukan yang berlimpah.
“Hari ini, lebih dari 60% kebutuhan listrik nasional masih bersumber dari batubara. Di radius 150 km dari Jakarta saja terdapat enam PLTU batubara. Di sisi lain, saat ini kita menghadapi polusi udara yang serius termasuk diantaranya bersumber dari emisi transportasi, industri, dan rumah tangga,” kata Eddy, dalam keterangan tertulis, Rabu (1/10).
Menurut Eddy, polusi udara dan perubahan iklim semakin terasa dan berdampak pada kehidupan sehari-hari. Mulai dari banjir dan hujan deras di musim kemarau hingga indeks kualitas udara yang memburuk.
Ia menekankan bahwa kondisi ini tidak bisa lagi disebut sekadar perubahan iklim, melainkan sudah masuk kategori krisis iklim.
“Kita tidak bisa lagi menjalankan business as usual mengatasi situasi ini. Krisis iklim adalah kenyataan yang dampaknya sudah kita rasakan: suhu udara meningkat, kualitas udara memburuk, dan fenomena alam tidak lagi terprediksi. Kita harus bergerak cepat dengan manajemen krisis juga," tegasnya.
Menurut Doktor Ilmu Politik ini, Indonesia sebenarnya memiliki potensi energi terbarukan yang sangat besar, mulai dari surya, air, panas bumi, hingga arus laut. Namun potensi tersebut belum digarap optimal, sementara ketergantungan impor energi masih tinggi.
“Setiap hari kita masih mengimpor sekitar 1 juta barel minyak. Kondisi ini membuat ketahanan energi kita rentan. Karena itu, transisi energi ke sumber terbarukan bukan lagi pilihan, melainkan keharusan,” jelasnya.
Karena itu Eddy Soeparno mendorong Parlemen khususnya Fraksi PAN DPR RI untuk mendorong percepatan transisi energi dan juga aksi iklim yang nyata dan berdampak untuk masyarakat.
"Kita bersyukur karena RUU Pengelolaan Perubahan Iklim sebagai inisiatif Fraksi PAN DPR RI masuk dalam Prolegnas Prioritas 2026. Saya juga sejak pimpinan di Komisi VII DPR RI terus berupaya memperjuangkan pengesahan RUU EBET," kata dia.
"Apa yang dilakukan Fraksi PAN ini sebagai bentuk dukungan penuh terhadap komitmen Presiden Prabowo mewujudkan ketahanan energi dengan fokus pada aksi iklim yang konsisten dan transisi dari fosil ke energi terbarukan yang bertahap," lanjutnya.
"Kita membutuhkan payung hukum yang kuat agar mitigasi dan adaptasi iklim berjalan konsisten, termasuk perlindungan bagi masyarakat yang terdampak,” tambah Eddy.
Selain isu energi, Anggota DPR RI Komisi XII ini juga menyinggung persoalan sampah yang semakin mengkhawatirkan. Indonesia, katanya, memproduksi sekitar 56 juta ton sampah per tahun, dengan mayoritas berasal dari rumah tangga, pasar, serta plastik sekali pakai.
“Sampah plastik dan limbah makanan menjadi tantangan besar yang memperburuk kualitas lingkungan hidup kita,” ujarnya.
Menutup pemaparannya, Wakil Ketua Umum PAN tersebut menekankan bahwa perjuangan menghadapi krisis iklim merupakan amanat konstitusi.
“Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 menegaskan bahwa pembangunan ekonomi harus berlandaskan keberlanjutan dan berwawasan lingkungan. Parlemen punya kewajiban moral dan konstitusional untuk memastikan Indonesia bergerak menuju transisi energi yang adil, berkelanjutan, dan berpihak pada generasi mendatang,” tutupnya.