• Bisnis

Ekonom Indef Tegaskan Atasi Stagnasi Ekonomi Tidak Cukup Hanya Fiskal

Aliyudin Sofyan | Minggu, 28/09/2025 20:27 WIB
Ekonom Indef Tegaskan Atasi Stagnasi Ekonomi Tidak Cukup Hanya Fiskal Direktur Indef Eisha Maghfiruha Rachbini. Foto: indef

JAKARTA - Direktur Indef Eisha Maghfiruha Rachhbini, PhD., menegaskan bahwa mengatasi stagnasi pertumbuhan ekonomi bisa hanya di atasi dengan kebijakan fiskal. Permasalahan utama bukan pada masalah fiskal, tetapi pada sektor riil yang masih sangat berat dengan masalah kebijakan dan lingkungan bisnis yang belum konsudif – termasuk kepercayaan dari pelaku ekonomi, yang belum tumbuh maksimal.

“Kebijakan hanya menggeser dana dari BI ke perbankan yang ditujukan untuk meningkatkan likuiditas agar mendorong sektor riil tidak semerta-merta akan menyelesaikan masalah, di saat permintaan Masyarakat sedang turun karena daya beli yang sedang turun, juga di sisi suplai, sektor riil sedang melambat di tengah ketidakpastian yang tinggi,” kata Eisha melalui keterangannya di Jakarta, Minggu (28/9/2025).

Menurutnya, sektor riil menunjukkan pelemahan dengan penjualan kendaraan turun tajam (wholesale -8,6% dan retail -9,5% pada Januari–Juni 2025), PMI manufaktur berada di zona kontraksi selama Triwulan II 2025, serta investasi asing langsung (FDI) menurun dari Rp217,3 triliun menjadi Rp202,2 triliun akibat ketegangan geopolitik, proteksionisme, dan kompetisi menarik modal global.

Permintaan domestik juga melemah yang tercermin dari pelambatan konsumsi rumah tangga, inflasi meningkat (Januari–Juli 2025 sebesar 2,37% dibanding 1,07% pada periode sama 2024), dan meningkatnya PHK sebesar 32% pada semester I 2025 yang semakin menekan daya beli masyarakat.

“Indikator kepercayaan konsumen ikut menurun, dengan Indeks Keyakinan Konsumen turun dari 121,1 (Maret) ke 117,8 (Juni 2025), disertai penurunan ekspektasi penghasilan dari 135,4 ke 133,2, menandakan pesimisme terhadap prospek ekonomi rumah tangga,” ujarnya.

Ia menegaskan, kebijakan Fiskal dalam hal ini pengelolaan keuangan negara melalui APBN sebagai instrumen dalam mendorong stabilitas ekonomi, perlu menjaga keseimbangan ekonomi, bukan membanjiri likuiditas, yang justru akan mendorong ketidakseimbangan pada pasar keuangan, dan berdampak akibat dari kebijakan penempatan dana pada perbankan.

Seharusnya, kata Eisha, Menteri Keuangan perlu juga memikirkan dampak penempatan dana tersebut secara lebih komprehensif pada pasar keuangan dan sektor riil. Sebab, injeksi likuiditas yang berlebihan dapat menimbulkan masalah baru.

Berikut ini Eisha menjelaskan perkembangan kondisi perbankan nasional, dimana likuiditas bukan menjadi masalah utama.

Bagi bank-bank himbara, likuiditas bukan menjadi masalah. LDR perbankan Per Juli LDR 87% belum melewati batas aman OJK 94%. Pertumbuhan kredit masih terbatas, hanya berbeda 0,1 persen dari pertumbuhan DPK.

Juli 2025, kredit tumbuh 6,7% dan DPK tumbuh 6,6%  Rasio AL/DPK masih sekitar 27,05% pada Juni 2025 dan 27,08% pada Juli 2025, termasuk penempatan di SBN dan SRBI sekitar 790 triliun.

Pertumbuhan undisbursed loan tahunan sebesar 9,51% pada Juni 2025 dibandingkan Juni 2024. Angka ini cukup tinggi, bahkan pertumbuhan undisbursed loan di bank-bank persero bahkan mencapai 20,9%, mencerminkan  ketidakpastian dunia usaha.

Selanjutnya, pertumbuhan kredit sebesar 7% per Juli 2025, data ini tidak mencerminkan masalah likuiditas, namun sisi permintaan kredit yang lemah, dimana industri dan pelaku usaha menghadapi ketidakpastian tinggi dalam menjalankan usaha.

Posisi operasi moneter Bank Indonesia per minggu I September mencapai Rp991 triliun naik dari Rp 904 triliun pada minggu I Sep 2024. Sehingga, hal ini mencerminkan adanya excess liquidity yang tidak disalurkan pada kredit. Melainkan, sebagian besar excess liquidity (sekitar 70%) ditaruh pada SRBI karena bunga yang tinggi.  Posisi dana bank di SBN pada minggu 1 bulan September 2025 mencapai Rp1.545 triliun naik dari Rp1.505 triliun pada periode yang sama tahun 2024. 

Menurut Eisha, tantangan saat ini justru terletak pada lemahnya permintaan kredit, Pemerintah perlu melakukan strategi kebijakan fiskal dalam mendorong daya beli masyarakat. Peran kebijakan fiskal dalam melakukan stabilisasi ekonomi ditujukan sebagai bantalan guncangan di saat daya beli Masyarakat turun, terutama mereka yang berpenghasilan rendah. Oleh karena itu, Menteri keuangan perlu mengeluarkan kebijakan yang mendorong daya beli masyarakat dan memperbaiki tingkat kepercayaan konsumen, melalui stimulus fiskal untuk dapat meningkatkan belanja dari sisi rumah tangga.

Kebijakan stimulus 8+4 belum cukup dan merupakan insentif, seperti potongan pajak dan bantuan, hanya bersifat jangka pendek dan tidak sepenuhnya menjawab persoalan fundamental, yakni stagnasi pendapatan riil serta terbatasnya penciptaan lapangan kerja berkualitas.

“Tanpa perbaikan distribusi pendapatan dan penguatan sisi permintaan domestik secara berkelanjutan, efek stimulus akan cepat mereda begitu intervensi fiskal dihentikan,” katanya.

“Jadi, ingin ditegaskan di sini bahwa kebijakan fiskal saja tidak menjawab dan menyelesaikan hambatan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi sektor riil dengan melakukan injeksi likuiditas pada sektor keuangan. Masalah utama perbankan bukan terletak pada keterbatasan likuiditas, mengingat LDR masih 87% dengan AL/DPK di kisaran 27%,” tegas Eisha.

“Injeksi likuiditas yang berlebihan jika tidak dibarengi dengan reformasi struktural pada sektor riil dan investasi, serta perbaikan daya beli masyarakat, akan memperdalam decoupling antara sektor riil dan moneter, yang sudah tampak sejak paruh kedua 2024 sebagai akibat pengetatan oleh BI sejak pertengahan 2023. Sehingga structural reform untuk memperbaiki iklim investasi dan usaha sangat mutlak diperlukan untuk meningkatkan kepastian usaha agar dunia usaha terdorong untuk berekspansi,” pungkasnya.