JAKARTA - Sejak manusia pertama kali bisa berbicara satu sama lain, sudah ada kebutuhan mendalam untuk berkomunikasi termasuk oleh mereka yang tidak bisa mendengar.
Bahasa isyarat dalam bentuk sederhana kemungkinan telah dipakai sejak zaman kuno ketika orang menyadari bahwa komunikasi tak selalu harus lewat suara.
Dalam dialog Cratylus karya Plato (abad ke-5 SM), misalnya, Socrates dituliskan berbicara tentang situasi “jika kita tidak punya suara atau lidah, bukankah kita akan menandakan maksud kita satu sama lain lewat tangan, kepala, dan bagian tubuh lainnya?”
Ini menunjukkan bahwa gagasan tentang isyarat sebagai sarana komunikasi sudah lama ada.
Kemajuan nyata dalam penggunaan bahasa isyarat mulai tampak ketika pendidikan bagi tunarungu menjadi lebih terorganisir.
Di Spanyol abad ke-16, muncul tokoh seperti Pedro Ponce de León, seorang biarawan yang dipandang sebagai guru pertama bagi anak-anak tuli di sana. Ia menggunakan kombinasi tulisan, membaca, dan juga isyarat tangan agar murid tuli bisa belajar.
Tidak lama kemudian, Juan Pablo de Bonet mengembangkan alfabet manual sebagai bagian dari metode pengajaran bagi orang tuli. Ini menjadi salah satu ciri awal dari sistem bahasa isyarat formal.
Di era berikutnya, abad ke-18, peran penting datang dari Charles-Michel de L’Épée di Prancis. Ia mendirikan sekolah umum bagi kaum tuli di Paris pada tahun 1771 yang ramah bagi murid tuli dan gratis.
Murid-murid dari berbagai tempat datang ke sekolahnya, membawa berbagai isyarat lokal yang mereka gunakan di komunitas masing-masing. De L’Épée mempelajari isyarat-isyarat itu dan menggabungkan dengan pengajaran bahasa Prancis.
Dari situlah mulai berkembang bahasa isyarat “lama” (Old French Sign Language) yang menjadi cikal bakal bahasa isyarat Prancis.
Walau demikian, selama banyak tahun sejarah, ada juga penolakan terhadap penggunaan bahasa isyarat secara resmi. Metode oralism (mengajarkan orang tuli untuk berbicara dan membaca gerakan bibir tanpa menggunakan isyarat) menjadi arus utama pendidikan di banyak tempat.
Di konferensi “Milan Conference” 1880, misalnya, metode oralism diberi preferensi atas bahasa isyarat dalam pendidikan tunarungu.
Perkembangan bahasa isyarat makin dimatangkan lagi pada abad ke-19 dan ke-20. Di Amerika Serikat, sekolah untuk tunarungu mulai menggabungkan elemen bahasa isyarat dalam pengajaran.
American Sign Language (ASL), yang sekarang menjadi bahasa isyarat natural dengan tata bahasa sendiri (grammar), lahir dari percampuran bahasa isyarat lokal dan pengaruh bahasa isyarat Prancis.
Saat ini, bahasa isyarat di banyak negara telah diakui sebagai bahasa resmi atau bahasa kedua bagi komunitas tuli.
Pemerintah dan organisasi hak difabel di berbagai belahan dunia semakin mendukung inklusi, akses pendidikan, dan kebijakan yang mengenalkan bahasa isyarat di sekolah-sekolah dan ruang publik.