Mendaki Gunung Gede, Benarkah Ada Suara Derap Kuda Tengah Malam?

Vaza Diva | Minggu, 14/09/2025 15:01 WIB
Mendaki Gunung Gede, Benarkah Ada Suara Derap Kuda Tengah Malam? Gunung Gede Pangrango (Foto: Ist)

JAKARTA - Gunung Gede yang menjulang di Jawa Barat meliputi wilayah Kabupaten Cianjur hingga Sukabumi tak hanya dikenal sebagai tujuan pendakian populer. Di balik keindahan dan tantangan jalurnya, gunung ini menyimpan lapisan kisah, mulai dari mitos leluhur, legenda kerajaan kuno, hingga catatan sejarah bencana alam.

Secara etimologi, “gede” dalam bahasa Sunda berarti “besar”. Julukan ini tak hanya menunjuk pada ukurannya, melainkan juga makna simbolisnya bagi masyarakat. Dengan ketinggian 2.958 meter di atas permukaan laut, Gunung Gede menjadi landmark penting sekaligus titik tertinggi di wilayah Pakuan Pajajaran, sebagaimana tercatat dalam naskah kuno Bujangga Manik yang menyebutnya sebagai Hulu Wano Na Pakuan.

Salah satu kawasan ikonik di kaki gunung ini adalah Alun-Alun Suryakencana. Hamparan savana yang luas dan sejuk ini tidak hanya menjadi favorit para pendaki, tetapi juga sarat kisah gaib. Masyarakat percaya bahwa tempat ini berkaitan dengan Pangeran Suryakencana, keturunan Prabu Siliwangi yang diyakini memiliki darah gaib. Banyak pendaki yang melaporkan mendengar derap kaki kuda pada malam hari—suara yang diyakini sebagai jejak astral sang pangeran dan pasukannya.

Tak jauh dari sana, berbagai situs petilasan juga menambah aura sakral. Dua batu besar di kawasan Cibodas disebut dijaga oleh sosok gaib, Mbah Kadok dan Eyang Jayarahmatan. Konon, batu tersebut tak bisa dihancurkan bahkan dengan teknologi modern. Di dekat Curug Cibereum, ada pula batu yang dipercaya sebagai wujud Eyang Haji Mintarsa, seorang pertapa sakti yang konon berubah menjadi batu karena kesaktian tapa brata-nya.

Selain kisah gaib, Gunung Gede juga tercatat dalam sejarah bencana besar di Jawa Barat. Menurut data PVMBG, sejak letusan pertama tahun 1747, gunung ini meletus 27 kali. Letusan besar pada tahun 1840 bahkan membuat kolom asap terlihat hingga Bogor dan Batavia. Rangkaian erupsi dan dua gempa besar pada 1834 dan 1844 menimbulkan kerusakan hebat di Cianjur dan Bogor, hingga akhirnya mendorong pemindahan ibu kota Keresidenan Priangan ke Bandung pada 1864.

Gunung ini terbentuk akibat tumbukan lempeng Eurasia dan Oseanik, dan letusan terakhirnya terjadi pada 1957. Sejak itu, Gunung Gede relatif tenang, meski PVMBG mencatat bahwa fase “istirahatnya” bisa mencapai 71 tahun.

Bagi pendaki, Gunung Gede bukan hanya ujian fisik, tapi juga mental. Cerita-cerita makhluk tak kasat mata kerap mewarnai perjalanan menuju puncak. Ada sosok Aul, mahluk berkepala dua yang bisa menyerupai penduduk untuk menyesatkan pendaki. Ada pula makhluk berbulu hitam menyerupai genderuwo dengan mata merah menyala, serta figur berbaju putih yang diyakini sebagai penjaga jalur. Banyak pendaki mengaku melihat sosok itu berdiri diam di tengah kabut.

Gunung Gede adalah ruang yang mempertemukan alam, sejarah, dan spiritualitas. Ia bukan hanya medan pendakian setinggi 2.958 mdpl, tetapi juga situs budaya dan saksi dari perjalanan panjang peradaban Sunda.

Bagi siapa pun yang berniat mendaki, penting untuk mengingat: Gunung Gede adalah bagian dari Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Selalu cek informasi resmi terkait status jalur, cuaca, maupun aktivitas vulkanik. Hormati alam dengan tidak meninggalkan sampah, serta hargai situs-situs sakral yang ada.

Mendaki bukan sekadar menaklukkan puncak melainkan perjalanan memahami alam dan menghormati warisan leluhur yang masih hidup hingga hari ini.