JAKARTA - Banyak orang beranggapan bahwa perbedaan bukit dan gunung hanya terletak pada tinggi rendahnya. Padahal, secara ilmiah, pembeda keduanya jauh lebih rumit daripada sekadar angka ketinggian.

Memang benar, gunung umumnya lebih menjulang dibanding bukit. Namun, hingga kini tidak ada kesepakatan global mengenai batas ketinggian yang pasti. Di beberapa negara, daratan setinggi lebih dari 600 meter sudah digolongkan sebagai gunung, sementara di tempat lain belum tentu mendapat sebutan yang sama.

Lebih dari itu, faktor geologi dan proses terbentuknya justru menjadi kunci utama. Gunung biasanya lahir dari aktivitas tektonik maupun vulkanik, sehingga strukturnya cenderung terjal dan keras. Sedangkan bukit kerap terbentuk akibat erosi, pelapukan, atau pengangkatan tanah yang lebih lambat, menjadikannya lebih landai.

Perbedaan asal-usul ini berdampak langsung pada kondisi sekitarnya. Gunung memiliki ekosistem ekstrem: suhu menurun seiring ketinggian, oksigen makin tipis, serta rawan aktivitas seismik. Sebaliknya, bukit menawarkan iklim yang lebih tenang dan ramah, sehingga sering dimanfaatkan sebagai area permukiman, pertanian, hingga wisata keluarga.

Dari sisi budaya, gunung sering dipandang sakral. Dalam berbagai tradisi, puncak gunung dipercaya sebagai tempat bersemayam roh atau dewa. Bukit mungkin tidak sekuat itu simbolismenya, tetapi tetap memiliki nilai sejarah penting. Contohnya Bukit Siguntang di Palembang, yang dikenal sebagai situs bersejarah sejak masa lampau.

Baik gunung maupun bukit memberikan pengalaman berbeda bagi para pencinta alam. Gunung menuntut ketahanan fisik dan mental, sementara bukit lebih cocok untuk rekreasi ringan yang tetap menyegarkan.

Singkatnya, perbedaan keduanya bukan semata urusan tinggi. Mulai dari cara terbentuk, kondisi lingkungan, hingga makna budaya, gunung dan bukit memiliki karakter unik yang patut kita pahami. Dengan begitu, kita bisa lebih bijak memilih destinasi sesuai tujuan dan menghargai lanskap alam yang ada di sekitar kita.