JAKARTA - Nama Mohammad Riza Chalid kembali mencuat setelah Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkannya sebagai tersangka dugaan korupsi tata kelola minyak. Langkah ini menandai babak baru dalam perjalanan panjang taipan energi yang selama puluhan tahun kerap disebut kebal hukum.
Sejak 19 Agustus 2025, Riza telah masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) setelah tiga kali absen dari panggilan penyidik. Statusnya kini meningkat menjadi buronan internasional usai Kejagung mengajukan red notice ke Interpol.
Kasus yang menjeratnya terkait dugaan penyimpangan dalam perdagangan minyak mentah dan produk kilang Pertamina periode 2018–2023. Kerugian negara ditaksir mencapai Rp285 triliun. Ia tak sendiri, karena putranya, Muhammad Kerry Adrianto, juga menjadi tersangka. Kerry diketahui menjabat sebagai Presiden Direktur PT Navigator Khatulistiwa, perusahaan yang diduga terlibat dalam skema tersebut. Selain itu, anak angkat Riza, Gading Ramadhan Joedo, turut terseret.
Latar belakang Riza Chalid selalu menarik perhatian. Lahir pada 17 Juli 1953 dari keluarga keturunan Arab, ia membangun pengaruh besar sejak era 1990-an. Kehidupannya dikenal penuh warna: menikah dengan Roestriana Adrianti pada 1985, bercerai pada 2012, serta memiliki dua anak kandung. Krisis moneter 1998 menjadi titik balik ketika ia memindahkan keluarga ke Singapura, lalu membangun jaringan bisnis lintas negara.
Di dunia energi, Riza mendapat julukan “Saudagar Minyak” atau “The Gasoline Godfather”. Ia dikenal sebagai figur sentral di Petral, anak usaha Pertamina di Singapura yang dulu mengatur impor minyak dan BBM. Petral bahkan disebut-sebut menguasai bisnis hingga 30 miliar dolar AS per tahun, memberi Riza akses langsung ke pasar global dari Timur Tengah sampai Rusia.
Selain mengandalkan Petral, Riza juga menguasai sejumlah perusahaan yang terdaftar di Singapura dan Kepulauan Virgin, seperti Supreme Energy, Paramount Petroleum, Straits Oil, hingga Cosmic Petroleum. Dari gurita inilah kekayaannya mengalir. Pada 2015, Globe Asia menempatkannya sebagai salah satu orang terkaya Indonesia dengan estimasi harta 415 juta dolar AS.
Namun, reputasinya tak pernah lepas dari kontroversi. Ia sempat dikaitkan dengan skandal “Papa Minta Saham” bersama Setya Novanto, lobi kontrak Freeport, hingga dugaan mark-up pembelian jet tempur Sukhoi 1997. Pada Pemilu 2014, namanya juga disebut sebagai penyokong dana politik besar.
Kini, status buronan yang disandangnya menjadi ujian terbesar dalam hidupnya. Kasus ini bukan hanya menyeret nama Riza Chalid, tetapi juga kembali menyoroti hubungan erat antara bisnis minyak dan kekuasaan di Indonesia.