JAKARTA — Dunia tengah menghadapi tantangan besar ketahanan pangan. Indonesia pun tak luput dari dampaknya. Perubahan iklim, fluktuasi harga pangan, hingga perubahan daya beli masyarakat menjadi ancaman nyata yang dapat memicu kerawanan pangan.
Sekretaris Utama Badan Pangan Nasional/National Food Agency (NFA) Sarwo Edhy mengungkapkan, kerawanan pangan dipicu berbagai faktor, mulai dari gangguan pasokan, keterbatasan akses fisik, keterjangkauan harga pangan, minimnya pendapatan masyarakat.
“Kondisi ini pada akhirnya akan memperburuk tercukupinya pemenuhan kebutuhan konsumsi pangan masyarakat,” ujarnya saat membuka Diseminasi Buku Direktori Prevalence of Undernourishment (PoU) di Jakarta, Kamis (14/8/2025).
Menurut Sarwo, PoU menjadi indikator penting yang mencerminkan tingkat ketidakcukupan konsumsi pangan, sekaligus alat untuk memetakan kondisi kerawanan pangan.
“PoU merupakan ultimate target dalam Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2025 tentang RPJMN 2025–2029. Targetnya, pada 2029 angka PoU turun menjadi 4,41 persen. Pencapaiannya melibatkan lintas kementerian/lembaga dan pemerintah daerah,” jelasnya.
PoU atau prevalensi ketidakcukupan konsumsi pangan adalah proporsi penduduk yang mengonsumsi pangan di bawah standar kecukupan energi untuk hidup sehat, aktif, dan produktif, yang dinyatakan dalam persentase.
Penghitungannya dilakukan melalui kolaborasi NFA dan Badan Pusat Statistik (BPS) dengan memanfaatkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Untuk pertama kalinya, data PoU disajikan hingga tingkat kecamatan dan desa, yang sebelumnya berbasis kabupaten/kota.
“Saya berharap data ini menjadi peta jalan bagi pemerintah daerah dalam merancang intervensi program yang lebih tepat sasaran,” kata Sarwo.
Direktur Kewaspadaan Pangan NFA Nita Yulianis menambahkan, PoU telah menjadi indikator kinerja pemerintah pusat dan daerah, dengan hasil yang menunjukkan tren positif.
“Pada 2024, angka PoU sebesar 8,27 persen, membaik dibanding tahun sebelumnya sebesar 8,53 persen,” paparnya.
Langkah ini, menurutnya, sejalan dengan komitmen Sustainable Development Goals (SDGs) ke-2, yakni Zero Hunger pada 2030.
Kepala NFA Arief Prasetyo Adi menegaskan eratnya hubungan antara kerawanan pangan dan kemiskinan. “Pengentasan kemiskinan akan berdampak signifikan terhadap pengurangan masyarakat rawan pangan. Pangan adalah kebutuhan dasar yang harus tersedia, terjangkau, dan bergizi seimbang bagi seluruh rakyat,” ujarnya.
“Kami akan semaksimal mungkin memastikan ketersediaan, keterjangkauan, dan pemanfaatan pangan yang beragam, bergizi seimbang, dan aman bagi seluruh masyarakat,” tambahnya.
Sejalan dengan itu, Deputi Bidang Statistik Sosial BPS Ateng Hartono mengungkapkan adanya keterkaitan erat antara kemiskinan dan PoU. “Pada 2024, angka kemiskinan menurun, dan hal ini turut berpengaruh terhadap penurunan PoU,” katanya.
Dukungan juga datang dari Bappenas yang disampaikan oleh Sekretaris Deputi Bidang Pangan, Sumber Daya Alam, dan Lingkungan Hidup Puspita Suryaningtyas menegaskan, negara memiliki kewajiban memenuhi kecukupan pangan hingga level individu agar masyarakat dapat hidup sehat, aktif, dan produktif.
Pada kesempatan itu, NFA memberikan penghargaan kepada provinsi dan kabupaten/kota dengan capaian PoU terbaik, yakni Provinsi Banten, NTB, dan Bali, serta Kabupaten Sumbawa Barat, Gianyar, dan Badung. Untuk kategori penurunan PoU terbaik, penghargaan diraih Provinsi Sulawesi Barat, Kalimantan Timur, dan Jawa Tengah, serta Kabupaten Mamasa, Penajam Paser Utara, dan Lebak.
NFA berharap capaian ini menginspirasi daerah lain untuk mengoptimalkan data PoU sebagai panduan kebijakan. Dengan kerja sama lintas sektor, target penurunan PoU hingga 4,41 persen pada 2029 diharapkan tercapai bahkan lebih cepat.