JAKARTA - Zinedine Zidane, yang akrab dijuluki Sang Maestro Prancis, adalah salah satu figur paling ikonik dalam sejarah sepak bola internasional.
Dengan sentuhan yang memanjakan mata, kontrol bola yang begitu tenang, serta visi permainan yang brilian, ia kerap membuat para penonton merasa seakan waktu berhenti setiap kali bola berada di kakinya.
Karier profesional Zidane mulai menanjak ketika ia bergabung dengan Juventus. Di Liga Italia yang dikenal keras dan taktis, ia justru tampil memukau.
Bakatnya bersinar terang, dan ia pun meraih penghargaan Ballon d`Or, sebuah pengakuan tertinggi atas kemampuannya sebagai pesepakbola terbaik dunia.
Akan tetapi, puncak pengakuan Zidane sebagai ikon nasional Prancis datang pada Piala Dunia 1998. Dalam laga final yang digelar di Stade de France, dua gol sundulannya ke gawang Brasil membawa Les Bleus meraih trofi pertama mereka di ajang bergengsi tersebut. Momen itu mengubah Zidane dari pemain berbakat menjadi simbol kejayaan nasional.
Setelah itu, Zidane menjadi bagian penting dari proyek ambisius Real Madrid Galacticos. Bergabung dengan para pemain bintang lainnya, ia tetap mampu bersinar dan menciptakan identitasnya sendiri.
Salah satu momen paling tak terlupakan dalam kariernya terjadi di final Liga Champions 2002, ketika ia mencetak gol indah melalui tendangan voli kaki kiri yang masih dikenang sebagai salah satu gol terbaik sepanjang masa.
Kariernya sebagai pemain berakhir dramatis pada Piala Dunia 2006, saat Prancis kembali melangkah hingga final. Di usia 34 tahun, Zidane masih menjadi pusat permainan dan menunjukkan kelasnya.
Namun, karier gemilangnya ditutup dengan peristiwa kontroversial, sundulan ke dada Marco Materazzi yang membuatnya dikartu merah dan menyudahi laga terakhirnya dengan nada pahit. Sebuah akhir yang emosional bagi seorang legenda.
Beberapa tahun setelah pensiun, Zidane kembali ke Real Madrid, kali ini sebagai pelatih. Tanpa banyak pernyataan atau kontroversi, ia menjalankan tugasnya dengan pendekatan yang tenang namun efektif.
Dalam periode yang singkat namun mengesankan, ia mempersembahkan tiga gelar Liga Champions secara beruntun, prestasi yang belum pernah dicapai oleh pelatih manapun di era modern.
Menariknya, seperti saat ia datang, Zidane memilih untuk pergi dengan senyap, meninggalkan warisan besar yang tak tergantikan. Ia telah membuktikan dirinya tak hanya sebagai penyihir di lapangan, tetapi juga sebagai arsitek jenius dari pinggir lapangan.
Zidane adalah bukti bahwa kehebatan sejati tidak membutuhkan banyak kata atau selebrasi. Ia hadir, memberi dampak besar, lalu melangkah pergi dengan elegan, meninggalkan jejak abadi dalam sejarah sepak bola dunia.