• News

Istana Sebut Pemberian Amnesti daan Abolisi Hak Konstitusional Presiden

M. Habib Saifullah | Senin, 04/08/2025 12:15 WIB
Istana Sebut Pemberian Amnesti daan Abolisi Hak Konstitusional Presiden Arsip foto - Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan RI atau Presidential Communication Office, Hasan Nasbi (Foto: Setkab)

JAKARTA - Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) Hasan Nasbi mengatakan, pemberian amnesti dan abolisi untuk terpidana kasus korupsi merupakan hak konstitusional yang melekat pada jabatan kepala negara dan telah melalui pertimbangan yang sangat matang.

Pernyataan tersebut dikemukakan Hasan, seusai menghadiri agenda kick off Cek Kesehatan Gratis (CKG) di SMAN 6 Tangerang Selatan, Senin (4/8/2025).

"Presiden, pasti sudah punya pertimbangan yang sangat matang untuk mengeluarkan keputusan abolisi, amnesti," kata Hasan saat ditanya perihal pemberian amnesti dan abolisi yang kali pertama diberikan kepada terpidana kasus korupsi, dikutip dari ANTARA.

Hasan menjelaskan pemberian amnesti dan abolisi bukanlah hal baru dan kerap dilakukan oleh presiden-presiden pendahulu sebelum Prabowo Subianto.

Hak konstitusi tersebut, kata Hasan, umumnya diberikan menjelang peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia.

Saat ditanya terkait kriteria khusus pemberian amnesti dan abolisi, Hasan kembali menegaskan bahwa hal itu merupakan hak konstitusional presiden sebagai kepala negara.

"Pertimbangan-pertimbangan sepenuhnya ada di tangan beliau," kata dia.

Hasan menambahkan, bahwa Presiden Prabowo tetap konsisten mengedepankan persatuan bangsa.

"Abolisi dan amnesti bisa diberikan oleh presiden untuk memperkuat persatuan bangsa," ujar dia.

Abolisi merupakan hak yang dimiliki kepala negara untuk menghapuskan tuntutan pidana dan menghentikan proses hukum jika telah dijalankan. Hak abolisi diberikan presiden dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Dalam kasus korupsi importasi gula di Kementerian Perdagangan pada tahun 2015-2016, Tom Lembong divonis pidana empat tahun dan enam bulan penjara setelah terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi, yang merugikan keuangan negara sebesar Rp194,72 miliar.

Tindak pidana korupsi yang dilakukan Tom Lembong, antara lain dengan menerbitkan surat pengajuan atau persetujuan impor gula kristal mentah periode 2015–2016 kepada 10 perusahaan tanpa didasarkan rapat koordinasi antarkementerian serta tanpa disertai rekomendasi dari Kementerian Perindustrian.

Atas perbuatannya, Tom Lembong juga dijatuhkan pidana denda sebesar Rp750 juta dengan ketentuan apabila tidak dibayar, maka diganti (subsider) dengan pidana kurungan selama enam bulan.

Dengan demikian, perbuatan Tom Lembong telah melanggar Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Vonis yang dijatuhkan Majelis Hakim tersebut lebih rendah dari tuntutan jaksa, yakni pidana penjara selama 7 tahun. Namun pidana denda yang dijatuhkan tetap sama dengan tuntutan, yaitu Rp750 juta subsider pidana kurungan selama enam bulan.