JAKARTA - Thailand dijuluki sebagai `Negeri Gajah Putih` karena simbolisme mendalam dan makna spiritual yang melekat pada hewan langka tersebut dalam budaya kerajaan dan masyarakat Thailand modern.
Julukan ini bukan hanya metafora poetik, namun mencakup aspek sejarah, spiritual, dan politik yang telah berakar sejak zaman kuno hingga era modern.
Melansir dari berbagai sumber, pada dasarnya gajah putih (chang pueak atau chang samkhan) tidaklah berwarna putih seperti salju. Warna kulit mereka lebih menyerupai abu-abu pucat, pink pucat, atau bercak merah muda dan bukan albino sejati.
Namun, keistimewaan fisik dan spiritualnya membuat mereka dianggap suci dan hanya dimiliki oleh raja sebagai simbol kekuasaan dan kemakmuran kerajaan.
Sejarah julukan ini bermula sejak Raja Borommatrailokkanat dari Kerajaan Ayutthaya (1448–1488) yang tercatat sebagai penguasa pertama yang memiliki gajah putih, melekat sebagai simbol legitimasi kekuasaan dan tanda bahwa kerajaannya diberkati keberuntungan menurut kepercayaan Buddhis dan Hindu.
Thailand diberi julukan tersebut karena sejumlah alasan kultural yang sangat kuat. Pertama, gajah putih menduduki status spiritual dan religius tinggi dalam masyarakat Thailand.
Dalam tradisi Hindu-Buddha, gajah putih—yang sering dikaitkan dengan dewa Indra dan kelahiran Buddha—dijadikan simbol kebijaksanaan, kesucian, dan kekuasaan ilahi.
Ibunda Buddha bermimpi seekor gajah putih bertanduk enam membawa bunga teratai, yang melambangkan kemuliaan spiritual dan pemerintahan yang adil.
Kedua, kepemilikan gajah putih sering dianggap sebagai pertanda kemakmuran, uang, dan legitimasi politik. Raja Thailand masa lalu—termasuk Raja Bhumibol Adulyadej (Rama IX)—memiliki puluhan ekor gajah putih.
Raja Bhumibol, misalnya, tercatat memiliki hingga 21 gajah putih, dengan lima ekor yang diberi gelar resmi sebagai bentuk pengakuan status tinggi mereka.
Ketiga, hukum kerajaan di Thailand menetapkan bahwa semua gajah putih yang ditemukan harus diserahkan kepada raja. Mulai dari abad ke-15, setiap gajah langka dengan ciri-ciri khusus wajib diserahkan ke pengadilan istana untuk dinilai dan mungkin dimasukkan ke dalam koleksi istana.
Keempat, di mata sejarah Barat dan diplomasi kolonial, julukan “Land of the White Elephant” berkembang ketika para duta Eropa mengamati tingginya status gajah putih dalam budaya Siam saat berkunjung ke London dan Eropa abad ke-19.
Keberadaan simbol ini turut mengukuhkan citra Siam sebagai negeri eksotik berhias simbol-simbol kerajaan yang mempesona.
Lambang gajah putih juga pernah menghiasi bendera resmi Siam hingga tahun 1916, kemudian berganti, tetapi simbol ini tetap hidup dalam ordo kenamaan kerajaan seperti Order of the White Elephant, penghargaan tertinggi yang masih dianugerahkan oleh monarki saat ini.