JAKARTA - Bulan Muharram tidak hanya menandai awal tahun baru dalam kalender Hijriah, tetapi juga menjadi momen suci yang penuh makna spiritual dan historis.
Salah satu kekhasan bulan ini adalah statusnya sebagai salah satu dari empat bulan haram (al-asyhur al-hurum) dalam Islam.
Istilah "haram" di sini bukan berarti kotor atau najis, tetapi dimuliakan bulan-bulan yang di dalamnya Allah SWT melarang tindakan kekerasan dan peperangan, kecuali untuk membela diri.
Larangan ini merupakan perintah yang termaktub langsung dalam Al-Qur’an. Dalam surah At-Taubah ayat 36, Allah SWT berfirman: "Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan... di antaranya ada empat bulan haram. Itulah agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu dalam bulan yang empat itu."
Para mufassir seperti Ibnu Katsir dan Wahbah Zuhayli menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “jangan menzalimi dirimu” adalah larangan untuk memulai perang atau melakukan tindakan permusuhan. Keempat bulan haram tersebut adalah Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab.
Makna pelarangan ini pun ditegaskan dalam surah Al-Baqarah ayat 217: “Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan haram. Katakanlah: ‘Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar’...”
Dalam tafsirnya, Quraish Shihab menegaskan bahwa Islam sejak awal menekankan etika dalam peperangan, dan larangan di bulan haram menjadi bagian dari sistem yang mengatur kapan umat Islam boleh atau tidak boleh mengangkat senjata.
Meski demikian, para ulama berbeda pendapat tentang apakah larangan ini bersifat mutlak atau telah dimansukh (dihapus hukumnya) oleh ayat-ayat jihad yang turun setelahnya.
Beberapa ulama berpendapat bahwa larangan memulai perang di bulan haram tetap berlaku kecuali jika dalam posisi defensif, seperti membela diri dari serangan. Namun, ulama lain berpandangan bahwa dalam konteks peperangan modern dan kondisi darurat, hukum ini bisa berubah tergantung maslahat umat.