Jakarta, Katakini.com - Ruhollah Khomeini merupakan tokoh ulama Syiah yang menjadi pemimpin revolusi paling monumental dalam sejarah kontemporer Iran. Lahir pada tahun 1900 di Khomeyn, ia tumbuh sebagai pengkaji fiqh dan filsafat Islam di Qom sebelum memasuki arena politik sebagai pengkritik tajam kebijakan Shah.
Ide `velāyat-e faqīh` (kepemimpinan ulama) yang ia gagas kemudian menjadi tonggak perubahan sistem pemerintahan Iran menuju republik teokratis setelah revolusi 1979.
Sejak awal 1960-an, Khomeini menentang keras program modernisasi Shah Mohammad Reza Pahlavi, terutama `White Revolution`. Kritik kerasnya yang dipandang menghapus peran ulama dan mendekatkan rezim ke Barat—memicu penangkapannya pada 1963 dan memicu aksi massa besar-besaran, yang dikenal sebagai Gerakan 15 Khordad.
Diasingkan serta memenjarakan Khomeini selama lebih dari 15 tahun, rezim Shah justru mengukuhkan posisi publik sang ulama sebagai simbol perlawanan terhadap penjajahan budaya dan politik.
Pada Oktober 1978 Khomeini diusir dari Najaf dan menetap ultrajauh di Neauphle-le-Château, Prancis, dari mana ceramahnya disebarkan ke seluruh Iran, menggugah gerakan protes dan mogok nasional.
Puncaknya, pada 1 Februari 1979 ia kembali digemai jutaan warga ke Tehran, yang menandai titik nadir kekuasaan rezim Shah. Hanya dalam 10 hari, rezim runtuh, dimahkotai Republik Islam atas de facto. Pada 11 Februari 1979, kekuasaan resmi Sah berakhir, selang sebulan, referendum mengukuhkan perubahan sistem negara.
Setelah revolusi, Khomeini menjabat sebagai Kepala Negara dan kemudian diposisikan sebagai Supreme Leader pada Desember 1979—jabatan yang memastikan kendali tertinggi atas semua lembaga pemerintahan dan militer.
Dalam dekade kepemimpinannya, ia mendirikan sistem politik sipil teokrasi, menerapkan hukum Islam secara ketat, serta memimpin Iran melewati Perang Iran–Iraq (1980–1988).
Namun, pemerintahannya juga disebut dengan adanya pembersihan politik (Cultural Revolution) dan eksekusi massal terhadap lawan (1981–82), yang kontroversial di mata internasional.
Ruhollah Khomeini wafat pada 3 Juni 1989 setelah satu dekade berkuasa, meninggalkan Iran sebagai negara pemerintahan ulama dengan konstitusi yang berbasis `velāyat-e faqīh`.
Jasa dan kritik terhadapnya terus mempengaruhi politik regional dan global, pendukung melihatnya sebagai pencetus kemerdekaan dan keadilan sosial, sementara kritikus menyoroti pembatasan kebebasan politik dan eksekusi massal.
Warisan Khomeini kini menjadi sumber ideologis bagi sistem Iran saat ini, peran Supreme Leader, militer teokratis Revolusi Garda, dan konfrontasi dengan Barat.
Posisinya sebagai pemimpin revolusi tetap relevan, dan figur ayah spiritual ini terus menjadi ikon kebangkitan Syiah politik, sekaligus mata panah kritik terhadap teokrasi otoriternya.