Jakarta, Katakini.com - Mendaki gunung bukan sekadar soal menaklukkan ketinggian, tetapi juga menguji ketahanan fisik, kekuatan mental, dan kesiapan menghadapi cuaca yang tak menentu.
Salah satu bahaya yang kerap diabaikan oleh para pendaki, terutama mereka yang masih awam adalah hipotermia. Ini adalah kondisi medis serius yang terjadi ketika suhu tubuh anjlok hingga di bawah 35 derajat Celsius.
Suhu dingin yang menusuk, hujan deras, serta terpaan angin di puncak gunung bisa secara perlahan menurunkan suhu tubuh tanpa disadari. Ironisnya, gejala awal hipotermia kerap dianggap ringan, padahal jika terlambat ditangani, bisa berujung fatal.
Ini merupakan tanda awal tubuh mencoba mempertahankan suhu internal. Menggigil adalah respons alami tubuh untuk menghasilkan panas, namun jika berlangsung lama atau semakin melemah, bisa menjadi indikasi kondisi yang memburuk.
Saat suhu tubuh menurun, kemampuan otak juga ikut terganggu. Orang yang mengalami hipotermia sering mulai berbicara tidak jelas, melantur, atau tampak kebingungan tanpa sebab.
Pendaki dengan hipotermia akan tampak berjalan terhuyung, sulit mengancingkan baju, atau bahkan menjatuhkan barang karena kehilangan koordinasi tangan. Ini menandakan gangguan sistem saraf akibat suhu tubuh yang menurun.
Sirkulasi darah terganggu saat tubuh kedinginan. Jika wajah, jari tangan, atau bibir mulai tampak pucat atau membiru, ini bisa jadi gejala bahwa suhu tubuh sudah turun signifikan.
Salah satu gejala paling berbahaya adalah rasa kantuk yang sangat kuat, meskipun tidak sedang mendaki terlalu lama. Pendaki bisa tiba-tiba ingin tidur di tengah suhu dingin, padahal itu adalah fase awal menuju kehilangan kesadaran akibat hipotermia.
Beberapa pendaki mengalami “paradoxical undressing”, yaitu membuka pakaian karena merasa panas padahal tubuh sebenarnya sedang kedinginan parah. Ini tanda tubuh dan otak mulai gagal dalam mengatur suhu secara normal.