Jakarta, Katakini.com - Di balik aksi penuh tenaga dan strategi cerdas di atas lapangan hijau, ada satu faktor fisiologis yang kerap jadi tolok ukur utama kebugaran atlet sepak bola: VO2 max.
Meski terdengar seperti istilah laboratorium, VO2 max adalah salah satu parameter paling vital dalam dunia sport science. Bagi tim pelatih, data ini tak ubahnya kompas yang menentukan peta latihan, susunan pemain inti, hingga gaya bermain tim.
Secara sederhana, VO2 max (volume oksigen maksimal) menunjukkan kapasitas maksimal tubuh dalam memanfaatkan oksigen saat melakukan aktivitas fisik berat. Makin tinggi angkanya, makin baik kemampuan jantung, paru-paru, dan otot dalam bekerja sama untuk menyuplai energi secara efisien.
Dalam sepak bola, olahraga yang membutuhkan perpaduan antara lari jarak jauh, sprint pendek, dan pergerakan konstan tanpa bola, VO2 max menjadi tolok ukur kebugaran aerobik yang tak bisa diabaikan.
Menurut jurnal British Journal of Sports Medicine, pemain elite Eropa rata-rata memiliki VO2 max antara 60–70 ml/kg/menit, dengan posisi gelandang bertahan dan fullback biasanya memiliki angka tertinggi.
Ini masuk akal, mengingat kedua posisi ni harus terus bergerak naik turun lapangan, menjadi motor pressing maupun distribusi bola.
Pelatih populer seperti Jürgen Klopp dan Pep Guardiola dikenal sangat memperhatikan aspek ini, karena gaya permainan keduanya sangat bergantung pada intensitas tinggi dan transisi cepat.
Namun, VO2 max bukan hanya milik pelatih elite. Di banyak akademi sepak bola dan klub semi-profesional, tes ini mulai digunakan secara rutin. Dari hasil tes VO2 max, pelatih bisa mengetahui siapa pemain yang siap bermain 90 menit non-stop, siapa yang cocok untuk pressing tanpa henti, atau siapa yang harus masuk program conditioning lebih intens.
Bahkan, dalam proses rehabilitasi cedera, VO2 max jadi acuan kapan pemain boleh kembali ke intensitas penuh.
Menariknya, data VO2 max juga bisa menjadi alat prediksi performa. Studi di Journal of Applied Physiology menyebutkan bahwa pemain dengan peningkatan VO2 max sebesar 10 persen dalam program pramusim cenderung mengalami peningkatan akselerasi, daya tahan lari, dan jumlah sprint per pertandingan.
Artinya, angka ini tak hanya merekam kondisi tubuh saat ini, tapi juga bisa digunakan untuk memantau progres dan merancang target fisik secara individual.
Bagi pemain, memahami VO2 max bisa menjadi motivasi tambahan. Banyak dari mereka kini melibatkan sport scientist pribadi atau menggunakan wearable tech seperti Polar dan VO2Master untuk memantau kondisi tubuh mereka secara real-time.
Bahkan pemain megabintang seperti Cristiano Ronaldo diketahui rutin melakukan evaluasi kapasitas aerobik sebagai bagian dari rutinitas kebugarannya, sehingga tak heran pemain Portugal ini masih sanggup tampil di level tertinggi di usia 40.
Di sisi lain, VO2 max cukup membantu pelatih dalam aspek non-teknis seperti rotasi pemain. Untuk jadwal kompetisi yang padat seperti Liga Champions atau turnamen internasional, mengetahui siapa yang punya kapasitas fisik optimal bisa mencegah overtraining, burnout, hingga risiko cedera.
Pelatih bisa lebih percaya diri dalam mengambil keputusan rotasi atau pergantian pemain, karena semua berdasarkan data, bukan intuisi semata.