Jakarta, Katakini.com - Naturalisasi pemain kini menjadi fenomena umum dalam sepak bola modern, termasuk dalam skema penguatan tim nasional Indonesia guna meningkatkan peluang lolos ke Piala Dunia 2026.
Namun, proses ini tidak selalu berjalan mulus. FIFA, sebagai otoritas tertinggi sepak bola dunia, pernah menghadapi berbagai penyalahgunaan praktik naturalisasi sehingga mengeluarkan aturan ketat mengenai siapa yang berhak memperkuat tim nasional suatu negara.
Dalam konteks sepak bola, naturalisasi berarti pemberian kewarganegaraan kepada pemain asing agar dapat memperkuat sebuah tim nasional. Tanpa regulasi yang tegas, praktik ini berpotensi mengganggu nilai sportivitas kompetisi.
Beberapa negara pernah mengupayakan cara-cara yang kurang transparan. Misalnya, Qatar yang pernah merekrut pemain asing tanpa ikatan jelas dengan negara tersebut, yang menjadi salah satu alasan FIFA untuk turun tangan.
Pada 2004, FIFA mulai menerapkan aturan pertama terkait kelayakan pemain internasional. Aturan ini mewajibkan pemain yang ingin membela sebuah negara harus memiliki hubungan yang sah, seperti ayah, ibu, atau kakek-nenek yang lahir di negara tersebut, atau telah tinggal di sana minimal dua tahun.
Namun, masa tinggal dua tahun dianggap terlalu singkat. Oleh karena itu, pada 2008 FIFA memperketat regulasi dengan menaikkan syarat masa tinggal menjadi lima tahun bagi pemain yang tidak memiliki ikatan darah dengan negara tersebut. Tujuannya adalah menghindari impor pemain secara instan yang dapat merusak kompetisi antarnegara.
Pada 2020, FIFA melakukan revisi besar dengan memberikan ruang bagi pemain diaspora atau pemain yang sebelumnya terkunci di negara lain. Aturan baru memperbolehkan pemain yang telah tampil maksimal tiga kali di pertandingan resmi untuk satu negara sebelum usia 21 tahun dan belum ikut turnamen besar, untuk pindah ke negara lain asal sudah tidak memperkuat negara awal selama tiga tahun.
Menurut FIFA, kebijakan ini banyak dimanfaatkan oleh pemain muda berdarah campuran yang sebelumnya minim kesempatan di negara kuat, sehingga mereka bisa membela negara asal leluhurnya dan menambah pengalaman internasional.
FIFA menegaskan bahwa regulasi tersebut bertujuan menjaga kejujuran pertandingan internasional sekaligus memberikan peluang yang adil bagi negara-negara berkembang untuk memanfaatkan potensi diaspora tanpa hanya berdasarkan politik kewarganegaraan semata.