Jakarta, Katakini.com - Di zaman Nabi Muhammad SAW ada seorang pria yang bertubuh besar dan tinggi dengan kulit sawo matang berkumis lebat, jika berada di kerumunan ia nampak seolah sedang menunggung sesuatu, Umar bin Khattab namanya.
Melansir buku berjudul "Al-Farqu Umar" oleh Muhammad Husein Haikal, kisah ini bermula di Pasar Ukaz, tempat penyair beradu kebolehannya. Di pasar ini pula rutin diselenggarakan adu gulat, tentu saja preman pasar, Umar bin Khattab adalah salah satu pegulat di sana.
Kala itu ada seseorang sedang membaca puisi, Umar pun turut menjadi pendengar. Muncul rasa kadum dari dirinya dengan menganggukkan kepala, menunjukkan kegembiraannya dan seleranya yang tinggi atas segala yang didengarnya itu.
Penyair itu sedang membanggakan kabilahnya dan tentu saja itu tatangan kepada kabilah lain. Kali ini Umar tidak ikut berteriak, sebab tidak ada sangkut paut dengan dirinya.
Selesai para penyair membacakan sajak-sajaknya ia dengan seksama mendengarkan apa yang akan dikatakan orang bijak itu. Setelah dipastikan mereka cenderung berdamai ia mendahului teman-temannya yang lain pergi melangkah cepat-cepat.
Tidak biasa ia berjalan perlahan, langkahnya yang lebar dan cepat tidak mudah dapat diikuti oleh yang lain. Teman-temannya mau mengajaknya mengobrol kalau-kalau dengan demikian ia dapat menahan cara melangkahnya yang lebar itu.
Pembicaraan yang pada mulanya tenang-tenang saja berubah menjadi perdebatan yang panas. Pemuda itu berhenti melangkah, matanya yang sudah berubah merah menandakan kemarahannya mulai menyala. Ia memilin-milin kumisnya yang sudah tumbuh lebat seraya berkata:
"Kalian mau menakut-nakuti aku dengan anak muda itu! Aku bukan anak Khattab kalau tidak mengajaknya bergulat begitu aku bertemu dia!" Ia melangkah lebih lagi cepat-cepat, sehingga teman-temannya di belakangnya agak berlari.
Begitu sampai di gelanggang adu gulat yang diadakan di samping Pasar Ukaz, dilihatnya pemuda-pemuda yang tegap-tegap sudah berkerumun, menyaksikan salah seorang dari mereka sedang merundukkan badannya di dada lawannya yang sudah dibuatnya tergeletak di tanah.
Tatkala orang banyak melihat Umar bin Khattab datang menuju ke tempat mereka cepat-cepat mereka memberi jalan. Kedua pegulat itu bergabung dengan para penonton.
Mereka yakin kedatangan Umar bukan untuk menonton tetapi datang hendak bergulat. Masih dengan sikapnya yang marah Umar memutar matanya kepada para penonton. Setelah dilihatnya pemuda yang tadi sedang berbicara dengan kawan-kawannya, dipanggilnya untuk diajak bertanding.
Pemuda itu tersenyum sambil melangkah ke tengah-tengah gelanggang, penuh percaya diri akan kekuatan dan kemampuannya. Sebelumnya ia tak pernah bertarung dengan Umar. Baru pertama kali ini ia datang ke Ukaz bersama kabilahnya.
Sejak kedatangannya itu ia tak pernah dikalahkan, sehingga setiap lawan harus benar-benar memperhitungkan. Perawakannya hampir sama dengan perawakan Umar, tinggi dan besar.
Umar yang sudah siap beradu kekuatan melangkah maju. Pemuda badui itu berusaha hendak mematahkan Umar, dan sudah memperlihatkan berbagai macam kepandaiannya dalam bertarung, sehingga jumlah penonton yang berdatangan makin banyak, suatu jumlah yang tak pernah ada sebelumnya.
Setelah pemuda badui itu maju dan sudah bergulat dengan pegulat-pegulat lain, orang-orang di Ukaz semua mengharapkan ia akan bergulat dengan Umar.
Mereka bertaruh untuk kedua pemuda itu, siapa yang akan menang. Setelah Umar menantang lawannya untuk bergulat, secepat kilat berita itu tersebar ke segenap penjuru di pasar.
Semua mereka yang tak terikat oleh pekerjaan datang ke tempat itu. Selama beberapa waktu Umar membiarkan lawannya berbicara terus dan berlagak, sedang dia sendiri dalam sikap defensif, tidak mau membuang-buang tenaga seperti pemuda badui itu.
Sudah diperkirakan ia sudah cukup lelah diserangnya ia dengan memiting kedua bahunya lalu dibantingnya ke tanah. Lapangan itu gegap gempita, orang ramai menyambut kemampuan Umar. Mereka teringat pengalaman yang sudah lalu menyaksikan ketangkasan Umar dalam peristiwa serupa.
Lantas bagaimana seorang preman berwatak keras yang fanatik pada agama nenek moyangnya bisa berbalik arah menuju ajaran yang dibawa Nabi Muhammad SAW? Inilah salah satu versi kisah masuknya seorang preman pasar Ukaz yang masuk Islam.
Umar menuturkan, Saya memang jauh dari Islam. Saya pecandu minuman keras di zaman jahiliah, saya sangat menyukainya dan saya menjadi peminum. Kami mempunyai tempat sendiri tempat kami berkumpul dengan pemuka-pemuka Quraisy.
Suatu malam saya keluar akan menemui teman-teman duduk itu. Tetapi tak seorang pun yang ada di tempat itu. Dalam hati saya berkata: Sebaiknya saya mendatangi si polan, pedagang khamar itu.
Dia di Makkah berdagang khamar; kalau-kalau di tempat itu ada khamar, saya ingin minum. Saya pun pergi ke sana. Tetapi tak ada orang.
Dalam hati saya berkata lagi: Sebaiknya saya ke Kakbah, berkeliling tujuh kali atau tujuh puluh kali. Maka saya pergi ke Masjid akan bertawaf di Kakbah. Akan tetapi ternyata di sana ada Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam sedang salat.
Ketika itu jika ia salat menghadap ke Syam, dan Kakbah berada di antara dia dengan Syam, tempat salatnya di antara dua sudut hajar aswad dengan sudut Yamani.
Ketika kulihat kataku: Sungguh, saya sangat mengharap malam ini dapat menguping Muhammad sampai saya dapat mendengar apa yang dikatakannya. Saya khawatir dia akan terkejut kalau saya dekati.
Maka saya datang dari arah Hijr. Saya masuk ke balik kain Kakbah; saya berjalan perlahan hingga saya berdiri di depannya berhadap-hadapan; antara saya dengan dia hanya dibatasi kain Kakbah, sementara Rasulullah SAW sedang salat dengan membaca Qur`an.
Setelah saya dengar Qur`an itu dibacanya, hati saya rasa tersentuh. Saya menangis; Islam sudah masuk ke dalam hati saya. Sementara saya masih tegak berdiri menunggu sampai Rasulullah SAW selesai salat.
Kemudian ia pergi pulang menuju rumahnya. Saya ikuti dia, hingga sudah dekat ke rumahnya saya dapat menyusulnya. Mendengar suara gerak-gerik saya ia sudah mengenal saya dan dikiranya saya menyusul hendak menyakitinya.
Ia menghardikku seraya katanya: "Ibn Khattab, apa maksud kedatangan Anda?"
Saya menjawab: "Kedatangan saya hendak beriman kepada Allah dan kepada Rasul-Nya serta kepada segala yang datang dari Allah."
Setelah menyatakan alhamdulillah ia berkata: "Umar, Allah telah memberi petunjuk kepada Anda."
Kemudian ia mengusap dada saya dan mendoakan saya agar tetap tabah. Setelah itu saya pun pergi meninggalkan Rasulullah sebagai orang yang sudah beriman kepada agamanya."