JAKARTA – Kasus perceraian di Indonesia terus menunjukan tren peningkatan dari tahun ke tahun. Banyak motif terjadinya perceraian beserta efek dominonya. Untuk itu, Kementerian Agama (Kemenag) berencana membuat Undang-undang tentang Kerukunan Rumah Tangga.
Demikian disampaikan Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar usai membuka Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Badan Penasihat, Pembinaan, dan Pelestarian Perkawinan (BP4) di Jakarta, Rabu (22/4/2025),
“Rumah tangga harus kuat, sehingga negara pun kuat,” kata Nasaruddin.
Menurut Menag, perceraian harus dihindari karena memiliki efek domino patologi sosial luar biasa, baik terhadap bekas pasangan suami dan istri maupun terhadap anak-anak yang ditinggalkan.
“Tidak sedikit anak-anak yang nakal dan terlantar akibat orang tuanya bercerai,” ujarnya.
Bahkan, lanjut Nasaruddin, saat ini tidak sedikit pasangan suami istri yang tidak mau memiliki anak, karena menganggap anak adalah beban.
“Mereka lebih senang memelihara hewan ketimbang memiliki anak,” katanya Nasaruddin.
“Bagaimana negara akan kuat bila kehidupan rumah tangga warga negaranya seperti ini,” imbuhnya.
Di tempat yang sama, Direktur Jenderal (Dirjen) Bimbingan Masyarakat Islam (Bimas Islam) Kemenag Abu Rochmad menyampaikan bahwa tantangan dalam pembinaan dan pelestarian perkawinan di era sekarang semakin komplek.
“Tingginya angka perceraian, rendahnya literasi perkawinan, hingga tantangan budaya digital terhadap ketahanan keluarga adalah masalah nyata yang harus kita hadapi dan sikapi bersama,” kata Abu Rochmad.
Data Mahkamah Agung tahun 2024 telah terjadi perceraian sebanyak 466.359 kasus atau sekitar 32,04 % dibandingkan data nikah 1.478.424 peristiwa.
Data cerai tahun 2023 sebanyak 408.347 atau sekitar 29,39 % dibanding data nikah 1.577.493.
“Meskipun secara statistik terjadi penurunan data cerai namun jika dibandingkan data pernikahan prosentasenya masih cukup tinggi dan cenderung naik,” ujarnya.
Banyak faktor yang menjadi penyebab perceraian, seperti faktor ekonomi yang menjadi penyebab terbanyak. Kemudian faktor perbedaan politik, hubungan perkawinan jarak jauh karena suami atau istri bekerja di luar negeri (TKI/TKW), suami atau istri dipenjara, suami atau istri beralih agama, dan faktor-faktor lainnya.
“Persoalan ini tentu tidak mungkin dapat diselesaikan oleh satu kementerian atau lembaga saja, tetapi dibutuhkan kolaborasi dengan pihak-pihak terkait agar angka perceraian dapat menurun serta angka pernikahan dapat meningkat,” tutur Abu Rochmad.
“Kami siap berkolaborasi dan memberikan dukungan terhadap pengembangan lembaga dan program strategis BP4, karena sejatinya BP4 merupakan mitra strategis Direktorat Jenderal Bimas Islam,” pungkasnya.