SURABAYA - Data yang dikeluarkan pada hasil Indeks Keselamatan Jurnalis (IKJ) 2024 menunjukkan, dari perspektif Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), perlindungan terhadap profesi dan kerja jurnalis dalam menjalankan tugasnya di Indonesia, hinga kini masih lemah dan perlu aksi nyata untuk mewujudkannya.
Ahli K3 Jawa Timur Edi Priyanto menyebut, dari data IKJ 2024 yang dikeluarkan oleh Yayasan Tifa bekerjasama dengan Populix, diketahui bahwa berbagai risiko kerja, mulai dari kekerasan fisik, intimidasi hukum, serangan digital, hingga tekanan ekonomi, masih menjadi ancaman nyata bagi para pekerja media.
“Berdasarkan data yang dirilis pada indeks tersebut, tercatat ada 321 kasus kekerasan terhadap 167 jurnalis sepanjang tahun 2024. Ini menunjukkan bahwa perlindungan terhadap jurnalis masih lemah dan memerlukan perhatian lebih serius,” kata Ahli K3 Jawa Timur, Edi Priyanto, Rabu (19/3/2025).
Edi Priyanto yang juga duduk sebagai Wakil Ketua Dewan K3 Provinsi Jawa Timur menegaskan, bahwa dalam perspektif keselamatan dan kesehatan kerja (K3), risiko yang dihadapi jurnalis harus dipetakan dan dimitigasi dengan strategi yang tepat.
“Langkah-langkah seperti pelatihan risk assessment, prosedur tanggap darurat, serta penerapan standar keselamatan yang lebih ketat, terutama saat meliput di daerah rawan konflik, sangat diperlukan agar jurnalis dapat bekerja dengan aman dan terlindungi,” kata Edi Priyanto.
Menurutnya, sebagai pekerja profesional, jurnalis memiliki hak atas lingkungan kerja yang aman. Hak ini mencakup perlindungan dari kekerasan, baik yang dilakukan oleh aparat, buzzer, maupun kelompok tertentu. Selain itu, aspek perlindungan fisik, seperti penggunaan alat pelindung diri (APD) saat meliput di zona berisiko, juga menjadi bagian penting dari standar keselamatan kerja yang harus diterapkan. Tak hanya itu, tekanan mental akibat ancaman atau sensor juga menjadi tantangan yang perlu ditangani dengan dukungan psikososial yang memadai. Jurnalis juga membutuhkan perlindungan hukum yang kuat, sehingga tidak ada kriminalisasi terhadap mereka yang menjalankan tugas jurnalistik sesuai dengan prinsip kebebasan pers.
Dari sisi tanggung jawab perusahaan media, Indeks Keselamatan Jurnalis 2024 mencatat bahwa tingkat perlindungan yang diberikan perusahaan terhadap jurnalis berada di angka 73,32. Meski tergolong cukup baik, masih terdapat ruang untuk perbaikan, terutama dalam meningkatkan standar operasional prosedur (SOP) keselamatan kerja, khususnya bagi jurnalis yang melakukan liputan di area berisiko tinggi.
“Perusahaan juga perlu memastikan adanya perlindungan hukum dan pendampingan bagi jurnalis yang menghadapi ancaman, serta menyediakan pelatihan rutin, termasuk pelatihan keamanan digital, untuk mengantisipasi peretasan dan penyadapan,” tegas Edi Priyanto.
Tak kalah penting, peran pemerintah dalam memberikan perlindungan terhadap jurnalis masih menghadapi tantangan besar. Dengan skor 64,39 dalam indeks keselamatan, regulasi yang ada saat ini masih dinilai belum cukup untuk menjamin keamanan jurnalis.
“Saat ini beberapa kebijakan bahkan berpotensi membatasi kebebasan pers dan dapat digunakan untuk mengkriminalisasi jurnalis. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengkaji ulang aturan-aturan tersebut dan mengimplementasikan program perlindungan yang lebih konkret, seperti yang diterapkan di sektor-sektor pekerjaan berisiko tinggi lainnya,” tukas Edi Priyanto.
Selain itu, kolaborasi yang lebih erat antara pemerintah, Dewan Pers, organisasi HAM, dan serikat pekerja jurnalis sangat diperlukan dalam merancang kebijakan yang benar-benar melindungi jurnalis di lapangan.
Selain risiko kekerasan dan ancaman hukum, kondisi ekonomi yang tidak stabil juga berdampak pada keselamatan mental dan fisik jurnalis. Pemangkasan anggaran, pemutusan hubungan kerja (PHK), serta efisiensi besar-besaran di berbagai perusahaan media, semakin memperburuk situasi.
Sementara itu tenaga ahli riset IKJ 2024, yang juga Anggota Dewan Pers periode 2025-2028, Abdul Manan mengatakan, untuk soal kasus kekerasan, berdasarkan data Aliansi Jurnalis Independen (AJI), pada periode 2019-2024 jumlahnya berkisar antara 41 sampai 87 kasus dalam setahun. Sebagian besar kasusnya berupa kekerasan fisik. Meski kasus kekerasan banyak, jumlah yang diproses hukum sangat sedikit.
“Dalam aspek regulasi, selama periode lima tahun itu juga mencatat adanya pemanfaatan undang-undang untuk mempidanakan wartawan. Salah satu korbannya adalah Diananta Putera Sumedi, Pemimpin Redaksi Banjarhits, di Kalimantan Selatan. Ia dipidanakan dengan Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) karena pemberitaannya dan divonis penjara 3 bulan 15 hari pada 2020 lalu,” ujar Abdul Manan.
Di tingkat global, peringkat kebebasan pers Indonesia juga cenderung stagnan. Reporter Without Border (RSF) menempatkan Indonesia di peringkat 111 (dari 180 negara) pada tahun 2024, turun dari tahun sebelumnya di peringkat 108. Dengan peringkat ini posisi Indonesia sebenarnya lebih baik dari 2019 (di peringkat 124), namun lebih buruk kalau dibandingkan dengan tahun 2002 yang sudah berada di peringkat 57.
“Ada sejumlah faktor yang kemungkinan berkontribusi membentuk peringkat Indonesia di RSF, baik dari indikator politik, hukum atau ekonomi. Masih tingginya kasus kekerasan terhadap jurnalis, adanya regulasi yang bisa mengirim wartawan ke balik jeruji besi, serta iklim ekonomi yang berdampak pada nasib pers independen, yang menyebabkan turunnya peringkat kebebasan pers Indonesia 2024 lalu,” tambah Abdul Manan.
Pengumpulan data dalam penelitian IKJ 2024 ini menggunakan metode survei yang dilaksanakan pada periode 30 Oktober hingga 6 Desember 2024. Responden pada penelitian ini adalah 760 jurnalis aktif di seluruh wilayah Indonesia yang terdiri dari wilayah Jawa (48%), Sumatera (17%), Sulawesi (11%), Kalimantan (9%), Bali-Nusa Tenggara (6%), Papua (5%), dan Maluku-Maluku Utara (5%).