• News

Pasukan Israel Bunuh Enam Warga Palestina di Tepi Barat Jalur Gaza

Tri Umardini | Kamis, 21/09/2023 05:05 WIB
Pasukan Israel Bunuh Enam Warga Palestina di Tepi Barat Jalur Gaza Pasukan Israel melakukan serangan rutin di Tepi Barat yang diduduki, yang menyebabkan banyak korban jiwa warga Palestina. (FOTO: REUTERS)

JAKARTA - Pasukan Israel telah membunuh sedikitnya lima warga Palestina dalam dua serangan di Tepi Barat yang diduduki, dan satu lagi warga Palestina dalam insiden terpisah di Jalur Gaza yang diblokade dalam 24 jam terakhir dalam lonjakan kekerasan terbaru di wilayah pendudukan.

Pada hari Selasa (19/9/2023), pasukan Israel menyerbu kamp pengungsi Jenin di Tepi Barat bagian utara, dan membunuh empat warga Palestina. Sekitar 30 orang lainnya juga terluka, menurut pejabat kesehatan Palestina.

Keempat orang yang tewas diidentifikasi sebagai Mahmoud Saadi (23); Mahmoud Ararawi (24); Raafat Khamayseh (22); dan Atta Mousa (29).

Rabu (20/9/2023) dini hari, pasukan Israel menggerebek kamp pengungsi Aqabat Jabr di Jericho. Pernyataan militer mengatakan bahwa tentara melepaskan tembakan ke arah seorang warga Palestina yang melemparkan bahan peledak ke arah mereka.

Kementerian Kesehatan Palestina mengidentifikasi pria tersebut sebagai Dhargham al-Akhras, 19 tahun.

Di Gaza, pria Palestina yang terbunuh diidentifikasi sebagai Yousef Salem Radwan, 25 tahun.

Dia ditembak oleh pasukan Israel di sebelah timur Khan Yunis di Gaza, lapor media Palestina.

Militer Israel tidak mengonfirmasi pembunuhan di Gaza, namun mengatakan bahwa “para perusuh” berkumpul di dekat pagar yang memisahkan Gaza dari Israel, dan “sejumlah alat peledak diaktifkan oleh para perusuh”.

Militer juga memberikan sedikit rincian tentang kematian di Jenin, selain mengatakan bahwa mereka telah melakukan serangan pesawat tak berawak.

Kekerasan terjadi setelah Israel mengumumkan pada Minggu malam bahwa mereka akan menutup penyeberangan Beit Hanoun (disebut “Erez” oleh Israel) menyusul meletusnya protes di perbatasan dan “penilaian keamanan” oleh pejabat pertahanan.

“Pembukaan kembali penyeberangan akan tunduk pada evaluasi berkelanjutan berdasarkan situasi yang berkembang di wilayah tersebut,” kata COGAT, sebuah unit di Kementerian Pertahanan Israel yang bertanggung jawab atas urusan sipil Palestina.

Penutupan Beit Hanoun, satu-satunya jalur pejalan kaki keluar dari wilayah kantong tersebut menuju Israel, telah menyebabkan sekitar 18.000 warga Palestina dari Gaza yang telah diberikan izin kerja Israel tidak dapat mengakses pekerjaan mereka.

Serangkaian protes terjadi selama musim liburan di Israel yang dimulai dengan Rosh Hashanah, Tahun Baru Yahudi minggu lalu dan berlanjut hingga festival Sukkot minggu depan.

Selama liburan, sejumlah besar orang Yahudi diperkirakan akan memasuki kompleks Masjid Al-Aqsa, yang juga dikenal oleh orang Yahudi sebagai Temple Mount, di Kota Tua Yerusalem Timur yang diduduki – di masa lalu hal ini berarti pembatasan akses warga Palestina ke tempat suci tersebut yang juga merupakan simbol nasional Palestina.

Pejabat Gaza mengatakan kasus medis masih diperbolehkan menggunakan penyeberangan tersebut, yang dijadwalkan dibuka kembali oleh Israel pada hari Senin setelah penutupan karena hari libur Yahudi.

Penutupan yang diperpanjang ini menyusul konfrontasi berulang kali antara pengunjuk rasa Palestina dan pasukan Israel di sepanjang perbatasan selama beberapa hari terakhir.

Konfrontasi tersebut menyebabkan banyak warga Palestina terluka setelah pasukan Israel menembakkan senjata dan gas air mata ke arah para pengunjuk rasa. Militer Israel juga melancarkan serangan udara Jumat malam di Jalur Gaza.

`Hukuman kolektif`

Keputusan untuk memblokir masuknya warga Palestina ke Israel dikutuk sebagai “hukuman kolektif ilegal” oleh LSM Israel Gisha, yang mengadvokasi kebebasan bergerak warga Palestina.

Tindakan ini “merugikan pekerja Gaza dan keluarga mereka, serta pemegang izin lainnya yang perlu melakukan perjalanan untuk keperluan kemanusiaan”, kata Gisha dalam sebuah pernyataan.

Salah satu warga Palestina yang terkena dampak di Gaza, Kamal, mengatakan dia dan rekan-rekan pekerjanya “tidak ada hubungannya dengan situasi keamanan di Gaza”.

“Penutupan Erez membuat saya dan keluarga saya kehilangan makanan dan biaya hidup,” kata pekerja konstruksi berusia 41 tahun, yang hanya menyebutkan nama depannya karena takut akan pembalasan dari otoritas Israel.

Warga Palestina mempunyai pendapatan yang jauh lebih tinggi di Israel dibandingkan di Gaza, dimana gaji mereka rendah dan pengangguran banyak terjadi.

Ashraf (36), mengungkapkan keprihatinan yang sama ketika dia menggambarkan penutupan tersebut sebagai “hukuman kolektif terhadap pekerja”.

“Kami hanya ingin bekerja dan hidup,” kata pemegang izin tersebut.

Seorang karyawan di sebuah restoran di Jaffa meminta pihak berwenang Israel untuk “mengkompensasi hari-hari kerja yang hilang” karena penutupan perbatasan.

Israel telah mempertahankan blokade ketat darat, udara dan laut di Jalur Gaza sejak 2007, ketika Hamas merebut kekuasaan di wilayah pesisir tersebut.

Ada banyak perang yang terjadi antara kelompok bersenjata yang berbasis di Gaza dan Israel dalam beberapa tahun terakhir.

Kekerasan terhadap pengunjuk rasa

Hamas mengatakan protes di Gaza merupakan respons terhadap provokasi Israel, dengan alasan peningkatan jumlah aktivis nasionalis sayap kanan Yahudi yang memasuki kompleks Al-Aqsa.

Pada hari Senin, pasukan Israel menyerang jamaah Palestina di Bab as-Silsila, salah satu pintu masuk utama ke kompleks Masjid Al-Aqsa di Yerusalem Timur yang diduduki.

Mereka juga menolak akses terhadap warga Palestina yang berusia di bawah 50 tahun untuk membuka jalan bagi pemukim Israel di Rosh Hashanah.

“Selama provokasi ini terus berlanjut, protes akan terus berlanjut,” kata juru bicara Hamas Hazem Qasem. (*)

FOLLOW US