• Bisnis

Magalarva, Mengolah Sampah dan Mengambil Untung dari Lalat

Akhyar Zein | Jum'at, 12/02/2021 07:21 WIB
Magalarva, Mengolah Sampah dan Mengambil Untung dari Lalat Seorang pegawai Magalarva sedang memeriksa larva lalat Black Soldier Fly (BSF) di fasilitas produksi Desa Pabuaran, Gunung Sindur, Kabupaten Bogor. (foto Anadolu Agency)


Katakini.com – Aroma tidak sedap menguar saat memasuki kawasan pabrik di Desa Pabuaran, Kecamatan Gunung Sindur, Kabupaten Bogor, Rabu.

Beberapa karyawan terlihat hilir mudik.

Seorang pegawai di sudut bangunan berangka baja ini mengaduk sampah organik dalam tong-tong plastik besar berwarna biru.

Dia menggunakan mesin pengaduk serupa bor panjang.

Petugas lain mengangkut hasil adukan ke bak-bak berisi ribuan larva, sejenis ulat hasil metamorfosis telur, yang terlihat lincah dan rakus melahap sampah-sampah olahan berbentuk mirip bubur kasar.

Tak jauh dari itu, di bak lain, dua orang terlihat sedang mengambil larva-larva dewasa, memisahkannya dari tanah yang terbentuk dari sampah yang mengalami proses pengomposan.

Di bagian lain, tampak mesin pemanas yang terus berputar mengeringkan larva-larva hingga siap dikemas.

Itu adalah aktivitas di fasilitas produksi Magalarva, sebuah perusahaan bioteknologi yang mengolah sampah dengan bantuan spesies lalat  Black Soldier Fly (BSF/hermetia illucens).  

Pada dasarnya proses produksi perusahaan ini adalah membesarkan larva hasil metamorfosis telur lalat dan memberi makan dengan sampah olahan organik.

Butuh waktu satu minggu untuk membesarkan larva kecil hingga dewasa.

Larva yang tumbuh dewasa dan mengandung banyak protein ini kita panen. Kemudian bisa kita jual atau offload ke industri peternakan dan pertanian,” ujar CEO Magalarva Rendria Labde pada Anadolu Agency saat mengunjungi fasilitas produksi mereka, Rabu.

--Pengolahan yang efisien

Kemampuan larva-larva ini mengolah sampah sangat efisien, kata Rendria.

Menurut dia pengomposan sampah dengan larva BSF hanya memakan waktu 1-2 hari, jauh lebih cepat dibandingkan pengomposan di tempat pembuangan sampah (TPA) yang bisa berbulan-bulan.

Perbedaan waktu decomposing ini menurut Rendria bisa menimbulkan efek positif yang besar pada proses pengolahan sampah.

Antara lain penggunaan lahan yang lebih efisien, karena sampah yang sudah terolah bisa segera digantikan dengan sampah baru.

Dengan demikian, lahan TPA tidak selalu harus luas seperti yang terlihat saat ini, bisa saja kecil namun efektif.

Selain itu persoalan lingkungan lain seperti polusi dan bau yang tidak sedap juga bisa teratasi karena sampah tidak perlu ditumpuk berlama-lama, seperti sistem open dumping yang selama ini diterapkan pada banyak TPA.

“Pengolahan dengan BSF ini bisa menjadi solusi pengelolaan sampah di Indonesia,” ujar dia.

Di Indonesia, kata dia sampah plastik lebih banyak mendapat sorotan dibanding sampah organik, karena dipandang lebih mencemari lingkungan.

Padahal faktanya, menurut Rendria mayoritas sampah justru berasal dari sampah organik.

Hal ini dikonfirmasi oleh data pemerintah yang memperkirakan volume sampah di Indonesia pada 2020 bisa mencapai 67, 8 juta ton.

Sebanyak 60 persen di antaranya adalah sampah organik. Baru kemudian sampah plastik 14 persen, kertas 9 persen dan karet 5,5 persen.

Sampah lainnya terdiri atas logam, kain, kaca, dan jenis sampah lainnya.

Persoalan sampah organik ini menurut Rendria sejalan dengan budaya buang sampah di masyarakat.

Kebanyakan masyarakat masih berpikir asal halaman rumah mereka bersih.

Padahal sampah itu hanya berpindah tempat, jika tidak mengotori rumah maka akan mengotori rumah tetangga atau kota mereka.

“Sampah sejatinya masih berada di lingkungan sekitar kita,” ujar dia.

Karena itu, sampah butuh pengolahan menjadi sesuatu dengan nilai ekonomi tinggi.

Meski berbasis di Gunung Sindur, Kabupaten Bogor, Magalarva yang didirikan pada 2017 ini mengolah sampah-sampah dari hotel, restoran dan pabrik di Jakarta.

Baru-baru ini mereka menjalin kerja sama dengan Super Indo untuk mengolah sampah dari toko jaringan ritel ini.

Awalnya mereka memulai dengan mengolah sampah sekitar 60 kilogram, kini perusahaan ini sudah bisa mengolah 6-10 ton per hari, ujar Rendria.

Sedangkan produksi larva kini sudah bisa mencapai 1 ton per hari.

--Tantangan sebagai perintis

Bukan perkara mudah bagi Magalarva memanfaatkan BSF untuk mengolah sampah.

Menurut Rendria, karena pemanfaatan BSF masih terbilang baru, mereka tidak banyak memiliki contoh praktik yang bisa segera diaplikasikan pada proses produksi.

Mereka harus mencoba berbagai teori dan praktik untuk menemukan proses produksi yang paling sesuai dengan realitas di lapangan.

“Jadi, sangat banyak perjalanan yang harus kita tempuh untuk bisa menemukan solusi yang visible,” ujar Rendria.

Dalam masa pandemi Covid-19 ini, Magalarva juga menghadapi tantangan, karena aktivitas hotel dan restoran, sumber sampah mereka, berkurang drastis.

Sebenarnya kata Rendria volume sampah organik tidak berkurang, hanya berpindah tempat.

“Sampah organik yang tadinya banyak dihasilkan oleh restoran dan hotel, berpindah ke rumah-rumah akibat kebijakan untuk tetap di rumah,” ujar dia.

“Secara general sampahnya sama saja jumlahnya. Tapi jadi susah untuk dikoleksi,” tambah dia.

--Inovasi produk

Sebagai perusahaan rintisan, Magalarva sudah menarik minat investor.

Pada Juni 2019 lalu mereka mengumumkan telah mendapatkan pendanaan sebesar USD500.000 dari perusahaan yang tidak disebutkan Namanya.

Dana ini akan digunakan untuk memperbesar skala industri, melalui riset efektivitas dan otomatisasi produksi, serta menjajaki pasar ekspor.

Targetnya, mereka bisa mengolah 30 ton sampah organik per hari dan menghasilkan 5 ton larva BSF.

Magalarva juga mampu menghasilkan berbagai produk.

Produk utama mereka adalah larva hidup yang bisa dijual ke peternak ikan lele, nila, patin dan sebagainya.

Kemudian larva yang sudah dikeringkan untuk pakan ikan hias.

Ada juga pupuk organik untuk tanaman yang telah melewati berbagai riset.

Pupuk ini kata Rendria bisa meningkatkan produktivitas tanaman hingga 3,5 kali lipat.

“Kita sudah coba ke tanaman cabai, tomat, sayur-sayuran seperti selada. Sudah cukup banyak riset, pupuk itu jauh lebih bagus dibandingkan pupuk yang bisa kita beli di pasaran,” ujar dia.

Selain larva dan pupuk, Magalarva juga bisa memproduksi tepung larva BSF dengan kandungan protein tinggi.

“Kandungan proteinnya bisa sampai 50-55 persen. Cocok untuk peternakan juga ikan atau ayam,” ujar Rendria.

Terakhir, ada produk minyak yang bisa digunakan sebagai subtisusi minyak kelapa sawit.

“Sudah ada riset, minyak itu bisa menjadi bahan baku sabun untuk cuci tangan. Tapi itu masih dalam skala yang sangat kecil,” kata dia.

Novrizal Tahar, Direktur Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan inovasi seperti ini bisa jawaban persoalan penumpukan sampah di berbagai TPA.

“Paling tidak 60 persen itu bisa mengurangi timbunan yang dibuang ke landfill. Dengan demikian landfillnya bisa bertahan lebih lama, sehingga tidak mudah penuh dan kita tidak perlu juga landfill baru,” jelas dia.

Menurut dia, kapasitas pemerintah daerah masih mempunyai berbagai hambatan dalam mengelola sampah.

“Pemerintah daerah yang mampu mengolah sampah dengan benar itu masih di bawah 50 persen. Bahkan di beberapa daerah masih jauh di bawah standar,” ujar dia.

Menurut dia, pemerintah berusaha menerapkan circular economy dalam pengelolaan sampah.

“Ini juga akan mengurangi pencemaran dan kerusakan lingkungan karena sampah dijadikan sebagai sumber daya,” ujar dia.(Anadolu Agency)