• News

Libur Akhir Tahun Batal, Bisa Mengendalikan Pandemi Tapi Memukul Pariwisata

Akhyar Zein | Rabu, 02/12/2020 05:30 WIB
Libur Akhir Tahun Batal, Bisa Mengendalikan Pandemi Tapi Memukul Pariwisata Salah satu destinasi wisata di Bali

Katakini.com – Pemerintah memutuskan memangkas libur akhir tahun sebanyak tiga hari dari empat hari yang sebelumnya ditetapkan, untuk mengendalikan pandemi Covid-19

Pemerintah mengikuti saran dari pada epidemiolog yang berkali-kali mengingatkan bahwa libur panjang terbukti meningkatkan jumlah infeksi virus korona.

Saat liburan Idul Fitri dan Idul Adha, perayaan ulang tahun proklamasi, dan libur panjang akhir Oktober dan awal November, kasus Covid-19 meningkat signifikan.

Dengan libur panjang masyarakat seperti diberi kesempatan bepergian jauh, mengunjungi sanak saudara atau berlibur di kawasan wisata yang memungkinkan mereka berinteraksi dengan banyak orang dan meningkatkan potensi infeksi.

"Dengan demikian, maka secara teknis ada pengurangan libur dan cuti bersama ini sebanyak tiga hari, yaitu 28, 29, 30 Desember," kata Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy dalam konferensi pers virtual, Selasa.

Sebelumnya pemerintah memutuskan libur akhir tahun pada 28, 29, 30, dan 31 Desember 2020 (Senin, Selasa, Rabu, dan Kamis).

Dengan demikian, para pegawai negeri akan menikmati libur panjang mulai 24 Desember hingga 3 Januari 2020.

Pada 24-25 Desember adalah cuti bersama dan perayaan Natal.

Kemudian, 1 Januari libur tahun baru, sementara 2-3 Januari jatuh pada Sabtu dan Minggu.

Menteri Muhadjir berharap pemangkasan libur akhir tahun ini diterima masyarakat dan membawa manfaat terutama mengendalikan penyebaran Covid-19.

Industri pariwisata makin terpuruk

Keputusan ini memberi pukulan pada industri pariwisata, mulai dari hotel, transportasi hingga rumah makan, yang sebelumnya sempat berharap bisa mendulang pendapatan dari libur panjang akhir tahun.

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Wishnutama sebelumnya mengatakan bahwa kalangan industri pariwisata sangat berharap libur panjang akhir tahun ini bisa memulihkan kerugian mereka akibat pandemi Covid-19.

Mereka bahkan meminta langsung pada dirinya dan Menteri Muhadjir untuk mempertimbangkan kembali rencana memangkas jumlah cuti bersama di akhir tahun.

Pengamat pariwisata dari Universitas Jenderal Soedirman Chusmeru mengatakan pengurangan libur ini akan membawa dampak buruk pada industri pariwisata tanah air.

Namun di sisi lain kata dia, pemerintah juga tidak ingin penyebaran Covid-19 semakin tidak terkendali.

“Langkah bijak agar perekonomian tetap bisa berjalan sebenarnya adalah mengurangi libur dua hari saja, yaitu 28 dan 29 Desember. Dengan demikian, masyarakat masih bisa menikmati libur panjang dari tanggal 30 Desember sampai 3 Januari,” ujar dia.

Pandemi ini, menurut Chusmeru bukan hanya membuat masyarakat tidak bisa melakukan perjalanan wisata, tetapi juga membuat sektor usaha pariwisata mengalami kondisi paling menyedihkan sepanjang sejarah industri ini di Indonesia.

“Dampaknya lebih parah dari tragedi Bom Bali 2002. Saat itu begitu pelaku tertangkap dan dihukum, sektor pariwisata kembali pulih dengan cepat,” ujar dia.

“Namun pandemi Covid-19 yang telah menelan korban jutaan orang di seluruh dunia dan sulit diprediksi kapan akan berakhir.”

Laporan World Tourism Forum Institute mengatakan pariwisata global merugi sekitar USD3 triliun gara-gara pandemi Covid-19.

Kerugian ini diperkirakan akan turun USD1 triliun dengan distribusi vaksin dan aturan wisata baru.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah kunjungan turis mancanegara ke Indonesia hingga  Oktober 2020 hanya mencapai 3,72 juta kunjungan.

Jumlah itu turun 72,3 persen jika dibandingkan dengan jumlah kunjungan wisman pada periode yang sama 2019 berjumlah 13,4 juta.

Protokol kesehatan harus tetap dijalankan.

Meski libur panjang telah dipangkas pemerintah tetap harus tegas menerapkan protokol kesehatan di tempat-tempat wisata, menurut Chusmeru.

Pengelola objek wisata harus membatasi jumlah pengunjung untuk menghindari terjadinya kerumunan wisatawan.

Idealnya, kapasitas objek wisata saat pandemi adalah 25 – 50 persen dari kapasitas kunjungan biasanya.

“Pemerintah harus benar-benar tegas terhadap siapa pun yang melanggar protokol kesehatan. Destinasi wisata harus selalu dipantau, jika ada pelanggaran oleh wisatawan atau pengelola, harus segera ditutup,” ujar dia.

Menurut Chusmeru, pengusaha di sektor pariwisata harus menyadari bahwa saat ini belum saatnya berpikir tentang jumlah kunjungan wisatawan.

Hal paling penting saat ini adalah bagaimana sektor kepariwisataan masih tetap bisa berjalan, meski secara ekonomis belum mampu mendatangkan keuntungan seperti sebelum terjadi pandemi, ujar dia.

Begitu pula wisatawan, mereka juga harus menyadari bahwa perjalanan wisatanya tidak bisa seleluasa dulu.

Karena ke mana pun wisatawan pergi, dan di mana pun berada harus mengikuti protokol kesehatan.

“Itu semua demi keamanan dan keselamatan, meskipun mengurangi kenyamanan dalam berwisata,” ujar dia.

Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio mengatakan industri pariwisata harus dibuka pelan-pelan, tidak perlu terburu-buru mengingat situasi pandemi.

“Saya sangat setuju tidak diberikan libur akhir tahun,” ujar dia.

“Tidak usah dikasih perpanjangan libur. Pas tanggal merah saja, tidak perlu ditambah.”

Pandemi ini, meski angka positif Covid-19 mengalami beberapa kali lonjakan namun belum mencapai puncaknya, ujar Agus.

Karena itu semua pihak harus bisa menahan diri, tidak boleh tergesa-gesa memutuskan kebijakan meski dengan alasan ekonomi.

Menurut dia proses pengambilan kebijakan untuk masalah kesehatan apalagi tengah pandemi ini memang rumit.

“Jika ingin mengubah kebijakan kesehatan, harus ada buktinya dulu,” ujar dia.

Tanda-tanda kebangkitan industri pariwisata sebenarnya sudah mulai muncul pada Oktober 2020, meski hanya mencatatkan total kunjungan turis mancanegara sebanyak 158 ribu.

Angka ini naik 4,5 persen dibanding dengan September 2020.

Menteri Wishnutama mengonfirmasi kenaikan ini.

Menurut dia pemulihan sektor ini terlihat dari meningkatnya okupansi atau tingkat keterisian hotel di kawasan wisata.

Dia menyontohkan tingkat okupansi hotel di Tanjung Benoa Bali mencapai 80 persen dan di Nusa Dua 40 persen.

Pemerintah mendukung hal ini dengan menerapkan strategi sertifikasi Clean, Health, Safety, and Environment Sustainability (CHSE) pada hotel, restoran, dan sarana pariwisata lainnya mendatangkan rasa aman bagi wisatawan.

Pemerintah juga sudah memberikan hibah pada sektor pariwisata sebesar Rp3,3 triliun yang sangat dirasakan manfaatnya khususnya oleh sektor pariwisata di Bali.(Anadolu Agency)

FOLLOW US