• Oase

Siapa yang Wajib Diikuti Seorang Muslim?

Vaza Diva | Selasa, 09/12/2025 11:11 WIB
Siapa yang Wajib Diikuti Seorang Muslim? Ilustrasi - ini yang harus diikuti oleh seorang muslim (Foto:ydsf)

JAKARTA - Dalam Islam, legitimasi seseorang untuk diikuti tidak ditentukan oleh gelarnya sebagai ustadz, kiai, wali, atau habib, tetapi oleh keilmuan dan kesesuaiannya dengan Al-Qur`an dan Sunnah. Allah menegaskan prinsip ini melalui firman-Nya:

فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ
“Jika kalian berselisih tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah dan Rasul.” (QS. An-Nisa: 59)

Ayat ini menegaskan bahwa tolok ukur kebenaran bukanlah nasab, popularitas, atau pengaruh sosial seseorang, tetapi dalil wahyu. Oleh sebab itu, seorang Muslim wajib menjadikan Al-Qur`an dan hadis sebagai standar dalam menerima bimbingan atau fatwa keagamaan.

Rasulullah SAW juga menegaskan bahwa ulama sejati adalah mereka yang benar-benar mewarisi ilmu, akhlak, dan ketakwaan para nabi, bukan sekadar gelar atau garis keturunan. Beliau bersabda:

اَلْعُلَمَاءُ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ
“Para ulama adalah pewaris para nabi.” (HR. Tirmidzi)

Hadis ini menempatkan ukuran pewaris kenabian pada kualitas ilmu dan keluhuran moral, bukan pada status keturunan atau popularitas. Karena itu, tokoh agama tetap harus dinilai berdasarkan integritas ilmu, amanah, dan keselarasan ucapan serta perbuatannya dengan sunnah.

Sepanjang sejarah Islam, posisi sosial seorang kiai, ustadz, atau habib merupakan konstruksi budaya, bukan dasar yang menuntut ketaatan mutlak. Islam tidak mengenal konsep mengikuti tokoh tertentu tanpa kritik. Rasulullah SAW mengingatkan bahwa manusia termasuk ulama pun bisa salah. Beliau bersabda:

كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ، وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ
“Setiap anak Adam pasti melakukan kesalahan, dan sebaik-baiknya orang yang salah adalah yang bertobat.” (HR. Tirmidzi)

Berdasarkan prinsip ini, seorang Muslim harus tetap kritis: menerima pendapat yang sesuai dalil, dan meninggalkan yang menyimpang dari wahyu.

Kesimpulannya, Islam tidak mewajibkan mengidolakan tokoh agama secara mutlak. Seorang Muslim diarahkan mengikuti mereka yang berilmu sahih, amanah, dan mengikuti sunnah. Para ulama telah merumuskan kaidah penting:

يُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِ كُلِّ أَحَدٍ وَيُرَدُّ، إِلَّا قَوْلُ رَسُولِ اللَّهِ 
“Perkataan siapa pun dapat diterima atau ditolak, kecuali perkataan Rasulullah.”

Dengan demikian, pedoman utama seorang Muslim adalah kebenaran ilmu, bukan gelar atau keturunan. Islam memuliakan dalil dan integritas, bukan status sosial tokoh yang menyampaikannya.