JAKARTA — Indonesia menghadapi tantangan serius dalam pengelolaan pangan. Setiap tahunnya, sekitar 115 hingga 184 kilogram makanan terbuang per kapita.
Selain berdampak pada lingkungan, susut dan sisa pangan (SSP) juga mengakibatkan kerugian ekonomi yang tidak sedikit, yakni mencapai Rp213 hingga Rp551 triliun per tahun, atau setara dengan 4 hingga 5 persen Produk Domestik Bruto (PDB) nasional.
Menjawab tantangan tersebut, Badan Pangan Nasional (NFA) terus memperkuat langkah strategisnya untuk menekan angka sisa pangan, khususnya di sektor bisnis. Salah satunya melalui program Gerakan Selamatkan Pangan yang menjadi garda depan dalam mengurangi SSP secara nasional.
“Gerakan ini merupakan aksi nyata dalam menurunkan angka sisa pangan, khususnya di sektor ritel modern, hotel, restoran, hingga pasar tradisional,” ujar Direktur Kewaspadaan Pangan NFA, Nita Yulianis, dalam forum Knowledge Sharing: From Policy to Plate bertema “Mendorong Kebijakan yang Mendukung Penanganan Susut dan Sisa Pangan di Sektor Bisnis”, di Jakarta, Senin (8/9/2025).
Menurut Nita, Gerakan Selamatkan Pangan sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) poin 12.3, yang menargetkan pengurangan 50 persen food waste per kapita di tingkat ritel dan konsumen, serta menekan food loss sepanjang rantai pasok, mulai dari produksi hingga distribusi.
“Komitmen ini juga telah tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029, yang menargetkan 3 hingga 5 persen pangan terselamatkan setiap tahunnya hingga tahun 2029,” jelasnya.
Diluncurkan pada 2022, program ini kini telah menjangkau 17 provinsi prioritas yang dipetakan pada 2025 ini. Mengusung pendekatan pentahelix, gerakan ini melibatkan lima unsur strategis: Akademisi, Bisnis, Komunitas, Pemerintah, dan Media (ABCGM).
“Kolaborasi ini penting agar gerakan tidak hanya bersifat simbolis, tetapi menyentuh langsung praktik pengelolaan pangan di lapangan,” tambah Nita.
Kepala NFA, Arief Prasetyo Adi, dalam berbagai kesempatan menekankan bahwa penanganan susut dan sisa pangan tidak bisa dilakukan secara parsial. Dibutuhkan kerja bersama seluruh elemen bangsa.
“Butuh kerja bersama lintas sektor. Gerakan Selamatkan Pangan kami dorong sebagai ruang kolaboratif yang mampu menjembatani kepentingan nasional dan target global dalam pengurangan pangan terbuang,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia Business Council for Sustainable Development (IBCSD), Indah Budiani, saat membuka kegiatan tersebut menyoroti pentingnya kebijakan yang mendukung sektor bisnis dalam mengurangi sisa makanan.
“Kepastian regulasi, insentif ekonomi seperti fiskal dan pembiayaan hijau, hingga perlindungan hukum dalam kegiatan donasi pangan sangat dibutuhkan agar sektor bisnis lebih aktif,” tuturnya.
Senada dengan hal itu, Koordinator Bidang Pangan Direktorat Pangan dan Pertanian Bappenas, Ifan Martino, yang mewakili Direktur Pangan dan Pertanian Bappenas Jarot Indarto, menegaskan bahwa isu susut dan sisa pangan berkaitan erat dengan krisis lingkungan global.
“Kita sedang menghadapi Triple Planetary Crisis: polusi dan degradasi lingkungan, hilangnya keanekaragaman hayati, serta perubahan iklim. Food loss and waste turut memperparah situasi ini,” ujarnya.
Berdasarkan data, timbulan food loss and waste (FLW) di Indonesia mencapai 23 hingga 48 juta ton per tahun. Jika dimanfaatkan secara optimal, jumlah tersebut cukup untuk memberi makan 61 hingga 125 juta orang—setara dengan sekitar 47 persen populasi nasional. Selain itu, penanganan FLW juga dapat menurunkan emisi gas rumah kaca secara signifikan.