JAKARTA - Di tengah derasnya arus globalisasi dan pergeseran nilai dalam kehidupan berbangsa, Pancasila kembali dipertanyakan relevansinya: apakah masih hidup dalam praktik, atau sekadar jargon di ruang publik.
Pertanyaan inilah yang mengemuka dalam diskusi “Bicara Buku Bersama Wakil Rakyat” di Ruang Delegasi, Gedung Nusantara V, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (27/8/2025).
Hadir narasumber dalam acara ini yaitu Pendiri Institut Sarinah, Eva Kusuma Sundari, dan Dosen Pancasila dan Kewarganegaraan Institut Teknologi Bandung (ITB) Dr. Epin Saepudin, M.Pd, yang dimoderatori oleh dimoderatori oleh seorang Penyiar Televisi, Rahma Sarita Aljufri, SH.
Eva Sundari memandang bahwa di balik hiruk-pikuk politik dan wacana modernisasi, nilai-nilai luhur bangsa yang kerap terlupakan, perlu diingat bahwa sejak lama Nusantara menyimpan tradisi kesetaraan gender yang tumbuh alami dalam masyarakatnya.
Karena itu, ia menggagas Feminisme Pancasila, sebagai upaya bahwa peran perempuan bukanlah konsep impor, namun menjadi jati diri dan kepribadian bangsa yang mesti dirawat dan dihidupkan kembali.
Mantan Anggota DPR RI 2004-2019 itu menyampaikan bahwa gagasan tersebut berangkat dari pengalaman dan risetnya mengenai peran dan kepemimpinan perempuan di Nusantara.
Ia menilai, pada masa lalu, perempuan memiliki peran besar dalam kepemimpinan maupun perjuangan, seperti Sultanah di Aceh, Ratu Kalinyamat, Nyi Ageng Serang, hingga Martha Christina Tiahahu. Namun, masuknya kolonialisme Eropa membawa sistem patriarki yang mendomestikasi peran perempuan melalui pembuatan peraturan termasuk UU terutama di UU perkawinan dan pendidikan.
Menurut Eva, Feminisme Pancasila dapat menjadi alternatif dari feminisme Barat karena berakar pada budaya lokal yang menegaskan kesetaraan sebagai nilai dasar. Ia juga menyoroti bahwa Pancasila lebih dekat dengan sosialisme bercorak spiritual ketuhanan sebagai landasan solidaritas dan kemanusiaan.
Eva mengkritisi masih rendahnya keterlibatan perempuan dalam institusi negara, seperti hanya sekitar 2 persen di TNI dan 5 persen di Polri, serta dominasi anggaran negara pada sektor militer dan kepolisian yang dampaknya bisa memperbesar ketimpangan gender di Indonesia.
Ia menekankan perlunya sistem pendidikan yang mendorong kecerdasan holistik, tidak hanya berbasis hafalan, melainkan juga kecerdasan emosional, spiritual, dan daya juang.
“Ketimpangan gender diperburuk oleh kebijakan privatisasi pendidikan dan kesehatan, serta korupsi karena semakin menjauhkan kita dari cita-cita keadilan sosial. Untuk menjawab tantangan itu, kita perlu kembali ke Pancasila dengan mengutamakan pengembangan kecerdasan emosional dan spiritual dan menciptakan sistem ekonomi dan politik sesuai Pancasila,” tuturnya.
Eva mengajak bangsa untuk pulang, kembali ke kepribadian Pancasila dan sistem pemerintahan yang sesuai Pancasila. Sehingga, bangsa bisa mencapai kecerdasan spiritual yang mendekatkan ke kecerdasan spiritual yang Illahiah.
Selain itu itu Dosen Pancasila dan Kewarganegaraan Institut Teknologi Bandung (ITB) Dr. Epin Saepudin, M.Pd, memandang bahwa nilai-nilai Pancasila harus dihidupkan dalam kehidupan sehari-hari, bukan sekadar menjadikannya hafalan atau slogan semata.
Epin menegaskan, Pancasila adalah jati diri sekaligus dasar bangsa Indonesia. Ia mengutip Bung Karno yang menyebut bahwa baik-buruknya suatu bangsa ditentukan oleh karakternya, dan karakter itu tercermin dalam Pancasila.
Bung Hatta pun, lanjutnya, pernah menekankan pentingnya kejujuran sebagai fondasi yang tak mudah diperbaiki bila hilang.
“Seringkali kita melihat nilai Pancasila justru hilang di ruang publik, padahal di rumah-rumah masyarakat nilai itu masih tumbuh,” ujar Epin.
Ia mencontohkan, tradisi sederhana seperti anak-anak berjabat tangan sebelum orang tua berangkat bekerja adalah praktik nyata Pancasila. Menurutnya, tantangan generasi kini berbeda. Generasi muda lebih akrab dengan TikTok dan konten instan dibanding hafalan butir-butir Pancasila.
Karena itu, pembelajaran Pancasila, tegas Epin, tidak cukup hanya berupa hafalan atau ujian pilihan ganda, tetapi harus berbasis proyek (project-based learning) yang relevan dengan kehidupan nyata.
“Pancasila hanya akan sakti jika hidup dalam tindakan, bukan sekadar dalam pikiran,” katanya, mengutip Bung Karno.
Epin juga menyoroti perlunya keteladanan dari para pemimpin. “Jangan berharap masyarakat menampilkan Pancasila kalau pemimpinnya sendiri tidak memberi contoh,” ujarnya.
Ia menegaskan, Pancasila harus menjadi working ideology ideologi yang bekerja dan hadir dalam kebijakan negara, bukan hanya dalam pidato. Sebagai contoh, ia mengingatkan kembali semangat gotong royong yang muncul saat pandemi Covid-19, ketika banyak warga saling membantu dengan menaruh makanan di pagar rumah tetangga.
“Gotong royong adalah kekuatan bangsa ini, bahkan di era digital pun bisa hidup melalui kolaborasi, diskusi, dan inovasi bersama,” jelasnya.
Lebih jauh, Epin menekankan bahwa Indonesia bukan negara agama, tetapi negara yang berketuhanan. Karena itu, seharusnya umat beragama bersikap ramah terhadap keberagaman, bukan alergi terhadap perbedaan.
Ia menutup dengan mengingatkan kembali bahwa Pancasila adalah philosophische grondslag, sebagai dasar filsafat bangsa Indonesia.
“Pancasila harus dihidupkan dalam sikap, perilaku, dan kebijakan nyata, agar benar-benar menjadi pandangan hidup bangsa,” pungkasnya.