JAKARTA - Sepak bola seringkali lebih dari sekadar 90 menit di lapangan hijau, ia adalah panggung drama, emosi, dan terkadang, dendam yang mendalam.
Salah satu babak paling terkenal dari drama tersebut melibatkan Patrice Evra dan Luis Suarez, sebuah insiden yang pada tahun 2012 menggegerkan dunia sepak bola dan bahkan menarik perhatian Sir Alex Ferguson dengan cara yang tak terduga.
Semua bermula pada tahun 2012 ketika Suarez dan Evra terlibat perselisihan yang berujung pada tuduhan rasisme. Suarez kedapatan mengeluarkan kata-kata rasis, yang kemudian membuatnya dihukum larangan bermain delapan pertandingan. Merasa bahwa FA telah salah menafsirkan insiden tersebut, Suarez memendam dendam.
Momen pertemuan berikutnya menjadi saksi bisu ketegangan yang belum mereda, Suarez menolak untuk menyalami Evra.
Aksi Suarez ini tentu saja memicu reaksi. Evra mempertanyakan tindakan Suarez, dan rekan setimnya, Rio Ferdinand, ikut menunjukkan solidaritas dengan balik tidak menjabat tangan Suarez pada laga tersebut.
Manchester United berhasil memenangkan pertandingan, dan Evra, dengan emosi yang membuncah, berlari ke arah Suarez dan merayakannya tepat di depan mukanya.
Namun, kisah ini memiliki lapisan yang lebih menarik, melibatkan legenda Sir Alex Ferguson. Dah, yang juga menyaksikan kejadian tersebut, kemudian menceritakannya kepada Sir Alex Ferguson.
Apa yang terjadi selanjutnya adalah momen yang mengungkap karakter sejati seorang manajer legendaris. Dilansir dari berbagai sumber Ferguson mendatangi Evra sambil bertanya.
"mengapa ia tak melanggar Suarez dan mengirimnya keluar lapangan?" ujar Ferguson
Pertanyaan ini mungkin terdengar kontroversial dari seorang manajer, namun Ferguson memiliki alasan yang kuat. Bagi Sir Alex, ia memperlakukan seluruh pemainnya seperti anaknya, dan perlakuan rasis adalah sesuatu yang tidak bisa ia terima.
Ini menunjukkan betapa dalamnya ikatan antara Ferguson dengan para pemainnya, serta sikap tegasnya terhadap segala bentuk diskriminasi.
Kisah Evra dan Suarez bukan hanya tentang rivalitas di lapangan, melainkan juga tentang solidaritas tim, keadilan, dan terutama, seorang manajer yang berdiri teguh melindungi anak-anaknya dari perlakuan tidak adil, bahkan jika itu berarti menyarankan tindakan yang di luar batas kebiasaan.
Ini adalah pengingat bahwa di balik gemerlapnya lampu stadion, nilai-nilai kemanusiaan dan loyalitas tetap menjadi inti dari permainan indah ini.