JAKARATA - Lebih dari seribu tahun silam, di jantung peradaban Islam, lahirlah seorang filsuf besar bernama Abu Nasr Muhammad al-Fārābī. Sosok yang kemudian dikenal sebagai “Guru Kedua” setelah Aristoteles ini tak hanya menggeluti filsafat dan musik, tetapi juga merumuskan pandangan mendalam tentang seni memimpin — seni yang ia yakini sebagai kunci terciptanya tatanan masyarakat yang adil dan harmonis.
Bagi Al-Farabi, kepemimpinan bukanlah sekadar posisi atau gelar, melainkan amanah yang menuntut kebijaksanaan, keberanian, dan integritas tinggi. Dalam salah satu karyanya, ia menegaskan, “Sebuah kota yang adil harus mendukung keadilan dan orang-orang adil, membenci tirani dan ketidakadilan, serta memberi keduanya balasan yang layak.” Pesan ini menjadi pengingat abadi bahwa seorang pemimpin harus berani menegakkan keadilan tanpa memihak.
Kasih sayang dan persatuan juga mendapat tempat penting dalam pandangan Al-Farabi. Ia menulis, “Masyarakat bersatu karena kasih, hidup dengan keadilan, dan bertahan melalui kerja jujur.”
Menurutnya, pemimpin sejati adalah mereka yang mampu memelihara cinta di antara rakyat, mengatur dengan keadilan, dan memberi teladan melalui kerja keras.
Tak kalah penting, kecerdasan menjadi landasan utama bagi seorang pemimpin. “Seseorang menjadi manusia karena kecerdasan,” tulisnya, menegaskan bahwa sosok yang memimpin harus berwawasan luas, berpikir rasional, dan mampu mengambil keputusan bijak demi kemaslahatan semua pihak.
Untuk lebih rincinya, berikut adalah beberapa kutipan kata-kata bijak Al-Farabi tentang pemimpin ideal, yang dihimpun dari berbagai sumber.
“Sebuah kota yang adil harus mendukung keadilan dan orang-orang adil, membenci tirani dan ketidakadilan, dan memberi balasan yang sepantasnya kepada keduanya.” Kutipan ini menegaskan bahwa pemimpin sejati menegakkan keadilan, menolak tirani, dan bertindak adil terhadap semua pihak.
“Seorang manusia menjadi manusia berkat kecerdasan.” Pernyataan ini menekankan bahwa kecerdasan—bukan kekuasaan atau status—merupakan fondasi utama kualitas seorang pemimpin.
“Sebuah seni yang bertujuan mencapai keindahan disebut filsafat, atau secara mutlak disebut kebijaksanaan.” Al-Farabi memandang bahwa pemimpin ideal adalah mereka yang memimpin dengan wawasan, kebijaksanaan, dan keindahan moral.
“Sebuah kota hanya menjadi mulia ketika pemimpinnya adalah seorang filsuf.” Pandangan ini menggambarkan bahwa pemimpin hebat harus berpikir filosofis, memahami hakikat kebaikan dan kebenaran.
“Pemimpin terbaik adalah yang menyatukan kebijaksanaan dengan keadilan.” Harmoni antara pemahaman mendalam dan tindakan yang adil menjadi inti dari kepemimpinan menurut Al-Farabi.
“Sebuah masyarakat tanpa pengetahuan seperti tubuh tanpa jiwa.” Ungkapan ini mengingatkan bahwa ilmu dan intelek adalah bahan dasar kehidupan dan kepemimpinan yang bermartabat.
“Hukum harus diarahkan untuk kebahagiaan semua, bukan kekuasaan segelintir orang.” Bagi Al-Farabi, tujuan utama pemerintahan adalah kesejahteraan kolektif, bukan dominasi atau kepentingan sempit.
“Filsafat dan agama adalah dua jalan menuju kebenaran yang sama.” Pemimpin bijak, menurutnya, tidak mengabaikan nilai spiritual maupun akal rasional.
“Kesehatan kota ibarat keseimbangan tubuh; penyakitnya adalah ketidakseimbangan moral warganya.” Pemimpin diibaratkan seperti dokter yang menyembuhkan moral masyarakat agar negara tetap sehat.
“Masyarakat bersatu karena kasih, hidup dengan keadilan, dan bertahan melalui kerja jujur.” Inilah tiga pilar utama kepemimpinan yang sukses: cinta, keadilan, dan kejujuran.
Itulah beberapa kata-kata bijak Al-Farabi tentang kepemimpinan. Warisan kata-kata bijak Al-Farabi ini tidak hanya relevan pada masanya, tetapi juga di era modern yang kerap dilanda krisis kepemimpinan. Pesan moralnya jelas: kekuasaan tanpa kebijaksanaan hanya akan membawa kehancuran, sementara kepemimpinan yang berpijak pada kasih, keadilan, dan ilmu pengetahuan akan melahirkan peradaban yang luhur. (*)