JAKARTA - Pandangan bulan Safat yang masih menyebutkan bahwa bulan ini penuh musibah, rawan kecelakaan, dan minim keberkahan masih melekat di masyarakat umum. Padahal, anggapan ini tidak bersumber dari ajaran Islam, melainkan dari warisan budaya pra-Islam yang tak berdasar.
Menurut catatan sejarah dan penjelasan ulama, mitos ini berakar dari tradisi masyarakat Arab sebelum datangnya Islam, yang menganggap Safar sebagai bulan kosong karena banyak rumah ditinggalkan untuk perang atau perjalanan jauh. Kesalahpahaman itu kemudian berkembang menjadi keyakinan bahwa bulan Safar membawa kesialan.
Jejak Sejarah di Balik Mitos Safar
Dikutip dari laman Nahdlatul Ulama dan Kemenag Sulut, dalam penjelasan Ibnu Manzhur dalam karya klasik Lisanul ‘Arab, istilah Safar berarti “kosong” atau “sepi”.
Hal ini merujuk pada kebiasaan masyarakat Arab yang mengosongkan rumah mereka saat musim konflik antarkabilah. Seluruh hasil tani dipanen lebih awal, lalu rumah dibiarkan kosong selama laki-laki pergi berperang. Dari realitas sosial ini, lahir kesan bahwa bulan Safar adalah masa yang tidak menguntungkan.
Namun ajaran Islam datang membawa pelurusan makna. Islam tidak hanya merombak struktur sosial masyarakat Arab, tetapi juga memperbaiki cara berpikir tentang waktu dan peristiwa. Rasulullah SAW secara tegas menolak segala bentuk takhayul yang tidak berdasar, termasuk anggapan buruk tentang bulan Safar.
Rasulullah SAW Membantah Anggapan Safar Bulan Sial
Salah satu hadis terkenal yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim menjadi titik balik pemahaman umat terhadap bulan Safar. Dalam sabda tersebut, Rasulullah menyatakan bahwa tidak ada penyakit menular tanpa izin Allah, tidak ada buruk sangka terhadap kejadian, tidak ada pertanda malapetaka dari burung hantu, dan tidak ada bala di bulan Safar.
Dengan kata lain, Islam menolak semua bentuk keyakinan yang menjadikan waktu, tempat, atau simbol tertentu sebagai pembawa sial. Safar, sebagaimana bulan lainnya, memiliki nilai yang sama dalam pandangan Islam. Yang menentukan keberkahan atau musibah bukanlah waktunya, melainkan bagaimana manusia mengisinya.
Ulama Sepakat Safar Bukan Bulan Sial atau Musibah
Pandangan Nabi ini ditegaskan pula oleh para ulama, salah satunya Ibnu Rajab Al-Hanbali dalam kitab Latha’iful Ma’arif. Ia menulis bahwa tidak ada perbedaan antara bulan Safar dengan bulan lainnya dalam hal keberuntungan atau kesialan. Seluruh perjalanan hidup manusia berada dalam genggaman takdir Allah, bukan ditentukan oleh mitos atau kepercayaan turun-temurun yang tidak berdasar.
Sayangnya, masih banyak umat Islam yang tanpa sadar mewarisi cara pandang yang bertentangan dengan semangat tauhid tersebut. Anggapan bahwa tidak boleh menikah, memulai usaha, atau bepergian di bulan Safar adalah bentuk kekeliruan yang perlu diluruskan.
Peristiwa Besar yang Terjadi di Bulan Safar
Jika kita membuka kembali lembaran sejarah Islam, justru bulan Safar mencatat banyak peristiwa besar yang menjadi bukti nyata bahwa waktu ini jauh dari kesialan. Di bulan Safar, Rasulullah SAW melakukan hijrah dari Mekkah ke Madinah—sebuah momen monumental yang menandai lahirnya peradaban Islam.
Pernikahan Rasulullah dengan Khadijah binti Khuwailid juga berlangsung di bulan ini. Begitu pula pernikahan putri beliau, Fatimah Az-Zahra, dengan Ali bin Abi Thalib, yang menjadi awal dari garis keturunan Ahlul Bait yang mulia.
Di masa setelah Nabi wafat, bulan Safar juga menjadi saksi kemenangan kaum Muslimin atas pasukan Romawi dalam Perang Khaibar, serta penaklukan Persia di masa kekhalifahan Umar bin Khattab. Bahkan, Usamah bin Zaid diangkat sebagai panglima perang di usia 20 tahun—keputusan strategis Nabi yang menegaskan kepercayaan terhadap anak muda.
Waktu Tidak Membawa Sial, Manusia yang Menentukan
Mitos bahwa Safar adalah bulan musibah pada akhirnya tidak memiliki dasar dalam agama maupun sejarah. Islam mengajarkan bahwa keberkahan dan ujian datang bukan karena waktu itu sendiri, tetapi karena perbuatan manusia. Tidak ada bulan yang sial dalam Islam, termasuk Safar.
Sebaliknya, bulan ini bisa menjadi momentum untuk introspeksi, memperkuat keimanan, dan mengevaluasi perjalanan hidup. Umat Islam semestinya meninggalkan ketakutan tak berdasar dan menggantinya dengan semangat untuk mengisi waktu dengan amal saleh dan perbaikan diri. Wallohu`alam