JAKARTA – Kesadaran gizi di kalangan remaja, khususnya di lingkungan pesantren dan madrasah, dinilai masih menjadi tantangan yang serius. Dalam sesi talkshow bertajuk “Strategi Meningkatkan Kesadaran Gizi di Kalangan Remaja di Lingkup Pondok Pesantren dan Madrasah” yang menjadi bagian dari launching Gerakan Nasional Pemenuhan Gizi Santri dalam Rangka Milad Majelis Ulama Indonesia (MUI) ke-50, Badan Pangan Nasional/National Food Agency (NFA) menegaskan pentingnya edukasi gizi seimbang berbasis pola konsumsi Beragam, Bergizi Seimbang, dan Aman (B2SA).
Direktur Penganekaragaman Konsumsi Pangan NFA, Rinna Syawal, dalam paparannya menyebutkan bahwa prevalensi anemia dan obesitas di kalangan remaja Indonesia cukup tinggi.
“Data menunjukkan 16,3 persen anak usia 6–14 tahun menderita anemia, dan 16,2 persen mengalami kegemukan karena pola makan yang tidak seimbang. Ini bukan hanya soal kecukupan pangan, tapi soal kualitas konsumsi,” tegas Rinna di hadapan para santri dan pengasuh pondok, Kamis (24/7/25)
Ia menambahkan, kebiasaan remaja yang sering mengonsumsi minuman manis dalam kemasan, serta camilan tinggi garam, berkontribusi terhadap anemia, diabetes, dan hipertensi di usia muda.
“Pola makan remaja saat ini cenderung karbohidrat-sentris dan miskin serat. Makan siang sering hanya nasi tanpa sayur, tanpa protein. Padahal, konsep Isi Piringku menekankan bahwa sepertiga piring harus diisi sayur, sepertiga karbohidrat, dan sisanya protein serta buah,” jelasnya.
Talkshow tersebut juga menjadi momentum untuk memperkenalkan kembali pola konsumsi B2SA sebagai pembaruan dari konsep 4 sehat 5 sempurna. Rinna menekankan bahwa penerapan pola B2SA tidak harus mahal, melainkan bisa dimulai dari sumber pangan lokal yang mudah dijangkau, seperti jagung, ubi, atau sagu sebagai pengganti nasi.
Ketua Dewan Pertimbangan MUI, KH Ma’ruf Amin, menegaskan bahwa upaya memenuhi kecukupan gizi merupakan bagian dari tanggung jawab keagamaan dan kebangsaan.
"Memberi makan orang lapar adalah fardhu kifayah. Jika tidak ada yang melaksanakan, maka semua berdosa. Maka, pemenuhan gizi anak-anak pesantren adalah bentuk nyata dari tanggung jawab sosial dan moral kita bersama,” ujar Ma’ruf Amin.
Ia mengutip salah satu ayat dalam Al-Qur’an yaitu Surah An-Nisa ayat 9, yang memperingatkan agar umat tidak meninggalkan generasi yang lemah.
“Lemah itu bisa karena kurang gizi, bisa karena bodoh. Keduanya harus dicegah lewat perhatian pada makanan bergizi dan pendidikan yang baik. Maka penting untuk menjadikan makanan sehat sebagai bagian dari ekosistem pesantren dan madrasah.” pungkasnya.
Kepala NFA, Arief Prasetyo Adi, di kesempatan lain menyatakan bahwa penguatan gizi remaja adalah salah satu langkah fundamental dalam menyiapkan generasi emas 2045.
“Pangan bukan sekadar soal logistik, tapi juga soal pembangunan sumber daya manusia. Ketika kita bicara ketahanan pangan, maka harus dimulai dari pemenuhan gizi anak-anak kita, khususnya di lingkungan pendidikan formal maupun informal seperti di pesantren,” tegas Arief.
Ia menambahkan, sinergi antara lembaga pendidikan, organisasi masyarakat, dan pemerintah menjadi kunci keberhasilan dalam membentuk budaya konsumsi pangan yang sehat dan berkelanjutan.
“Pola konsumsi sehat harus dibiasakan sejak dini. Kami di NFA siap mendorong penyediaan pangan yang berkualitas di lembaga pendidikan berbasis agama, demi memperkuat kualitas gizi nasional dari akar rumput,” tutup Arief.