Meresapi Makna Ikhlas dalam Kehidupan Sehari-hari

M. Habib Saifullah | Kamis, 17/07/2025 19:05 WIB
Meresapi Makna Ikhlas dalam Kehidupan Sehari-hari Ilustrasi berdoa (Foto: Pexels/Thridman)

JAKARTA - Dalam keseharian seorang muslim, kata "ikhlas" kerap kali terucap, baik dalam doa, nasihat, maupun renungan batin. Namun sering kali maknanya belum benar-benar meresap.

Ikhlas bukan sekadar pasrah, bukan pula sekadar tidak mengeluh. Ikhlas adalah keadaan hati yang paling dalam, saat seseorang melakukan sesuatu semata-mata karena Allah SWT tanpa berharap pujian manusia, tanpa mencari keuntungan dunia.

Secara etimologis, ikhlas berasal dari akar kata أخلص - يخلص - إخلاصًا, yang berarti menyucikan, memurnikan, atau membersihkan. Dalam konteks amal, ikhlas berarti memurnikan niat dari segala bentuk pengaruh selain Allah.

Tidak ada riyaʼ (الرياء), tidak ada sum‘ah (السمعة), dan tidak ada harapan akan imbalan duniawi. Ikhlas adalah menjadikan Allah sebagai satu-satunya tujuan dalam ibadah, dalam kebaikan, bahkan dalam pengorbanan sekalipun.

Imam al-Ghazālī dalam Iḥyāʾ ʿUlūm ad-Dīn menjelaskan bahwa ikhlas adalah ketika seorang hamba tidak memperhatikan siapa pun selain Allah dalam amalnya. Amal orang yang ikhlas mungkin tak terlihat oleh manusia, tapi menggelegar di langit. Sebaliknya, amal yang penuh riya bisa tampak agung di mata manusia, namun hampa nilainya di sisi Rabbul ‘Ālamīn.

Dalil tentang pentingnya keikhlasan begitu banyak dalam Al-Qur’an dan hadits. Salah satu ayat yang sangat tegas adalah firman Allah:

"وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ"

"Dan mereka tidak diperintahkan kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama..." (QS. Al-Bayyinah: 5).

Namun menjaga keikhlasan bukan perkara mudah. Niat bagaikan gelombang di laut hati—berubah-ubah, tak selalu stabil. Ada kalanya kita memulai dengan ikhlas, tapi di tengah jalan, bisikan syaitan membelokkan niat.

Ada kalanya kita ingin berbuat baik, tapi harapan akan pujian atau pengakuan diam-diam menyusup ke dalam hati. Maka dari itu, para ulama senantiasa mengingatkan pentingnya muḥāsabah (محاسبة) atau introspeksi diri, agar niat senantiasa dijaga dan dikembalikan kepada tujuan yang lurus.

Keywords :


Ikhlas Islam
.
Riya`