Jakarta, Katakini.com - Musim panas seharusnya menjadi masa istirahat penting bagi para pesepak bola profesional setelah melewati jadwal kompetisi yang intens.
Namun, kenyataan di lapangan justru menunjukkan hal sebaliknya: para pemain tetap dipaksa tampil di tengah waktu yang seharusnya digunakan untuk pemulihan fisik dan mental.
FIFPRO, organisasi serikat pemain internasional, sebenarnya merekomendasikan agar setiap pemain diberikan waktu istirahat minimal delapan minggu.
Rinciannya, empat minggu untuk libur total tanpa aktivitas sepak bola, lalu dilanjutkan dengan empat minggu masa retraining sebelum kembali ke latihan pra-musim. Sayangnya, rekomendasi tersebut kerap diabaikan.
Sebuah studi dari UEFA, Elite Club Injury Study, mengungkapkan bahwa tekanan jadwal yang berlebihan membawa dampak nyata.
Proporsi cedera hamstring meningkat drastis, dari hanya 12 persen pada musim 2001/2002 menjadi 24 persen dua dekade kemudian di musim 2021/2022. Ini mencerminkan risiko cedera yang semakin besar akibat minimnya waktu pemulihan.
Klub-klub elite Eropa kerap menyingkat masa libur pemain demi ikut serta dalam agenda komersial seperti tur pramusim dan turnamen global seperti Piala Dunia Antarklub. Tak jarang, pemain sudah kembali berlatih hanya dua atau tiga minggu setelah musim sebelumnya usai.
Tekanan tak hanya datang dari klub, tetapi juga dari agenda internasional. Turnamen resmi seperti Euro, Copa America, dan UEFA Nations League menambah kepadatan kalender.
Bahkan, beberapa pemain seperti Raphinha dari Barcelona harus menunda waktu istirahatnya karena panggilan tim nasional di tengah jadwal yang mepet.
Sementara itu, di level kompetisi yang lebih rendah, situasinya tidak jauh berbeda. Sebuah survei di League of Ireland menunjukkan bahwa 95 persen pemain mendukung pemberlakuan masa libur musim panas yang lebih panjang. Namun dalam praktiknya, mereka hanya menikmati sekitar lima hari libur sebelum kembali ke latihan ringan.
Akibat dari ketidakseimbangan ini sangat jelas: meningkatnya potensi cedera, kelelahan mental, serta ancaman burnout dalam jangka panjang.
Tanpa adanya regulasi ketat dan komitmen bersama antara klub, federasi, dan pemain itu sendiri, masa libur musim panas akan terus menjadi hak yang diabaikan dalam dunia sepak bola profesional.