• Oase

Inilah Berbagai Tips untuk Membentuk Sikap Husnuzan

M. Habib Saifullah | Rabu, 09/07/2025 17:05 WIB
Inilah Berbagai Tips untuk Membentuk Sikap Husnuzan Ilustrasi - Berhusnuzan pada Allah SWT (Foto: Pexels/Antoni Shkraba)

JAKARTA - Dalam kehidupan sehari-hari, tidak jarang kita dihadapkan pada situasi yang memancing prasangka, kecurigaan, atau penilaian negatif terhadap orang lain maupun terhadap ketentuan Allah.

Dalam ajaran Islam, sikap seperti ini harus diluruskan melalui nilai husnuzan, atau berbaik sangka.

Husnuzan merupakan bagian dari akhlak mulia yang tidak hanya menjaga hati seseorang tetap tenang, tetapi juga menjadi penyangga hubungan sosial yang sehat dan berkah dalam kehidupan spiritual.

Bersikap husnuzan tidak semata perkara moral, tetapi merupakan perintah syariat yang memiliki implikasi besar bagi ketenteraman jiwa dan kemuliaan perilaku.

Pentingnya husnuzan tergambar dalam berbagai ayat Al-Qur’an dan hadis Rasulullah SAW. Allah SWT berfirman, "Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, karena sebagian prasangka itu dosa." (QS. Al-Hujurat: 12).

Dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW bersabda, "Jauhilah prasangka, karena prasangka adalah ucapan paling dusta."

Kedua dalil ini menekankan bahwa prasangka negatif dapat menjerumuskan seseorang ke dalam dosa besar, termasuk ghibah, fitnah, hingga memutus tali persaudaraan. Sebaliknya, sikap husnuzan membuka pintu ketenangan, keberkahan, dan memperkuat ukhuwah Islamiyah.

Untuk membangun sikap husnuzan, seseorang perlu melatih hatinya untuk selalu mencari sisi positif dari apa yang dilihat atau didengar. Ketika mendapati seseorang bersikap dingin atau kurang ramah, ia tidak serta merta menyimpulkan keburukan, melainkan mencari kemungkinan yang baik: mungkin orang tersebut sedang dalam masalah, lelah, atau tidak sengaja.

Hal ini hanya bisa terwujud bila seseorang telah terbiasa mengendalikan emosinya dan membiasakan tafakur sebelum menilai sesuatu. Husnuzan juga erat kaitannya dengan kesabaran dan rendah hati.

Semakin seseorang mampu mengendalikan egonya, semakin mudah ia menerima bahwa tidak semua hal berjalan sesuai kehendaknya, dan bahwa manusia memiliki keterbatasan dalam memahami niat dan keadaan orang lain.

Husnuzan juga perlu dibangun terhadap ketetapan Allah SWT. Ketika seseorang mengalami musibah, kegagalan, atau keterlambatan rezeki, husnuzan menjaganya dari putus asa dan prasangka buruk terhadap takdir.

Ia akan meyakini bahwa semua yang terjadi adalah bagian dari rencana terbaik Allah, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Baqarah: 216, "Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu."

Keyakinan ini mendorong seseorang untuk tetap optimis dan berserah diri, tanpa kehilangan semangat untuk terus berusaha dan memperbaiki diri.

Proses membangun husnuzan bukanlah hal instan. Ia butuh latihan hati yang berkelanjutan, pembiasaan diri untuk melihat kebaikan dalam segala hal, serta penguatan spiritual melalui ibadah, doa, dan pergaulan dengan orang-orang saleh.

Membaca kisah para nabi dan ulama juga bisa menjadi cara untuk menginspirasi dan mengokohkan sikap positif dalam memandang hidup.

Sebab mereka adalah teladan yang mampu tetap husnuzan bahkan dalam ujian paling berat, seperti Nabi Yusuf AS yang tetap berbaik sangka meski dikhianati saudara-saudaranya, atau Rasulullah SAW yang memaafkan orang-orang Quraisy setelah penaklukan Mekkah.