Jakarta, Katakini.com - Dunia sepak bola profesional menuntut lebih dari sekadar bakat, ia menguras fisik dan mental pemain hingga batasnya. Agar dapat terus bersaing memperebutkan tempat di starting XI, para atlet harus menjaga performa di level puncak.
Namun, di balik gemerlap lapangan hijau, tersimpan risiko serius terhadap kesehatan yang dapat mengancam karier bahkan kualitas hidup mereka. Penyakit-penyakit ini, jika tak tertangani dengan tepat, bisa menjadi pemicu pensiun dini yang tak diinginkan.
Meskipun pemain rutin melalui skrining medis, serangan jantung masih terjadi yang disebabkan kondisi seperti cardiomyopathy, hipertensi, atau teror dari jadwal padat.
Carlisle adalah contoh tragis mengerikannya serangan jantung saat bermain sepak bola. Pelatih Tottenham Hotspurs, Ugo Ehiogu, juga tewas akibat serangan jantung saat bertugas.
Cedera ACL (anterior cruciate ligament) sangat umum dialami, terutama di kalangan pemain wanita. Mereka berisiko hingga delapan kali lipat dibanding pria untuk cedera jenis ini, sehingga menyebabkan absensi panjang dan risiko osteoarthritis jangka panjang.
Studi menunjukkan banyak pemain mengalami stres ekstrem akibat tekanan performa, cedera, dan stigma ‘macho culture’, hingga kesulitan mengakses dukungan mental.
Stroke ringan berkali-kali dan benturan kepala bisa memicu Chronic Traumatic Encephalopathy (CTE), yakni penyakit neurodegeneratif yang menyebabkan gangguan memori, mood, dan risiko bunuh diri.
Gangguan tidur seperti sleep apnea sering ditemukan pada mantan atlet, memicu stress kardiovaskular dan pemulihan yang terganggu.
Meski sehat semasa berkarier, mereka yang berusia muda menunjukkan angka hipertensi dan diabetes lebih tinggi dibanding populasi umum, akibat pola makan meningkat dan perubahan metabolisme pascapensiun.
Cedera berulang pada lutut, pinggul, otot, dan sendi akhirnya menghasilkan nyeri kronis dan osteoarthritis pascapensiun, sehingga mengurangi mobilitas dan kualitas hidup jangka panjang.