JAKARTA - Bulan Muharram merupakan salah satu bulan yang dimuliakan dalam Islam. Di antara hari-hari dalam bulan ini, tanggal 9 dan 10 menjadi sangat istimewa karena dianjurkan untuk berpuasa sunnah.
Dua hari tersebut dikenal sebagai puasa Tasu’a (9 Muharram) dan puasa Asyura (10 Muharram), yang keduanya memiliki landasan kuat dari hadis-hadis Rasulullah SAW.
Puasa Asyura memang memiliki keutamaan besar, yaitu dapat menghapus dosa setahun yang lalu. Namun Rasulullah SAW juga menyampaikan niat beliau untuk berpuasa pada hari sebelumnya, yakni tanggal 9 Muharram atau Tasu’a. Hal ini beliau lakukan agar berbeda dari kebiasaan orang Yahudi yang hanya berpuasa pada 10 Muharram saja.
Dalam sebuah hadis shahih, Ibnu Abbas meriwayatkan:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَئِنْ بَقِيتُ إِلَى قَابِلٍ، لَأَصُومَنَّ التَّاسِعَ"
"Rasulullah SAW bersabda: `Jika aku masih hidup hingga tahun depan, sungguh aku akan berpuasa pada hari kesembilan (Tasu’a).`" (HR. Muslim, No. 1134)
Walaupun Rasulullah SAW wafat sebelum sempat melaksanakan puasa Tasu’a pada tahun berikutnya, niat beliau ini dipahami sebagai anjuran kuat bagi umat Islam untuk ikut serta berpuasa pada tanggal 9 Muharram. Ini menjadi dasar hukum bagi para ulama untuk menyatakan bahwa puasa Tasu’a termasuk sunnah muakkadah (sunnah yang ditekankan).
Selain alasan membedakan diri dari kaum terdahulu, puasa Tasu’a juga dianggap sebagai bentuk kehati-hatian dalam perhitungan tanggal Hijriah. Sebab, bila terjadi kekeliruan dalam penetapan awal Muharram, maka dengan berpuasa sejak tanggal 9, seorang muslim tetap akan mencakup hari Asyura di dalam puasanya.
Meskipun keutamaan terbesar disebutkan untuk puasa Asyura, yakni sabda Nabi SAW:
وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ، فَقَالَ: "يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ"
"Beliau ditanya tentang puasa hari Asyura, lalu beliau menjawab: `Ia dapat menghapus dosa setahun yang lalu.`" (HR. Muslim, No. 1162)