JAKARTA - Hari ke-10 Muharram atau Asyura memiliki makna yang mendalam dalam tradisi umat Islam, tidak hanya sebagai momen spiritual, tetapi juga sebagai periode penguatan sosial dan budaya.
Di Indonesia, berbagai daerah merayakan dengan cara unik yang membumi—menggabungkan nilai-nilai keagamaan dengan kearifan lokal.
Di tengah kekayaan budaya Nusantara, tradisi 10 Muharram tak hanya mengajak umat dalam perjalanan batin puasa dan doa, tetapi juga dalam ajang kebersamaan melalui makanan, kebudayaan, dan pelayanan sosial.
Masyarakat dari Sabang sampai Merauke merayakannya dalam wujud semarak yang berbeda-beda, tapi menyatu dalam semangat persaudaraan dan rasa syukur.
Berikut lima tradisi Asyura yang dapat ditemui di Indonesia, masing-masing kaya makna dan filosofi:
1. Memasak dan Membagikan Bubur Asyura
Tradisi paling dikenal, memasak bubur Asyura secara gotong royong pada tanggal 10 Muharram dan membagikannya kepada warga sekitar, masjid, atau dhuafa. Bubur ini terbuat dari beragam bahan—beras, kacang, sayuran, kadang daging—sebagai simbol keberagaman, kebersamaan, dan rasa syukur atas keselamatan Nabi Musa dan Nabi Nuh AS.
2. Puasa Sunnah Asyura dan Tasu`a
Sebagian besar umat Islam di Indonesia menjalankan puasa sunnah pada tanggal 9 dan 10 Muharram. Selain sebagai bentuk syukur, puasa ini diyakini dapat menghapus dosa setahun lalu.
3. Lebaran Anak Yatim (Idul Yatama)
Pada hari Asyura, banyak masjid, pondok pesantren, dan lembaga sosial menyelenggarakan santunan bagi anak yatim. Tradisi ini, dikenal sebagai ‘Lebaran Anak Yatim’, mencerminkan empati, kepedulian, dan nilai kasih-sayang dalam komunitas Muslim.
4. Suronan
Di daerah Jawa, tradisi Suronan dirayakan dengan pengajian, zikir, ceramah, dan doa bersama. Sering kali dikaitkan dengan penyajian bubur Asyura, tradisi ini menekankan nilai spiritual dan mempererat hubungan antarsesama.
5. Tabuik / Tabot: Prosesi Melarungkan Replika Keranda
Di Sumatera Barat (Bengkulu, Pariaman), tradisi Tabuik (atau Tabot) dilakukan pada 10 Muharram. Masyarakat membuat replika keranda besar yang kemudian diarak dan dilarungkan ke laut sebagai simbol peringatan kesyahidan Imam Husain bin Ali serta wujud duka atas tragedi Karbala.