SERPONG – Susut dan Sisa Pangan (SSP) atau food loss and waste bukan sekadar persoalan limbah makanan. Isu ini menyentuh berbagai dimensi: ekonomi, lingkungan, hingga sosial. Jika tidak ditangani dengan serius, dampaknya dapat meluas dan merugikan secara nasional.
Direktur Kewaspadaan Pangan Badan Pangan Nasional/National Food Agency (NFA) Nita Yulianis menyebut, kajian Bappenas memperkirakan kerugian ekonomi akibat SSP di Indonesia mencapai sekitar Rp. 551 triliun per tahun. Selain itu, SSP juga menyumbang sekitar 7,29 persen emisi gas rumah kaca (GRK) nasional setiap tahunnya.
“Dampaknya bukan hanya terhadap lingkungan, tetapi juga terhadap ketahanan pangan dan gizi masyarakat,” papar Nita dalam acara Talkshow dan Komitmen Bersama Sektor Bisnis: Mendorong Aksi Nyata untuk Mengatasi Susut dan Sisa Pangan di Serpong, Kamis (3/7/2025).
Ia menambahkan, hilangnya gizi dari pangan yang terbuang sesuai kajian berbasis data kurun waktu dua dekade, menunjukkan edible food waste yang masih layak dan aman untuk dikonsumsi berpotensi mencukupi kebutuhan pangan bagi 61 hingga 125 juta orang per tahunnya. Angka tersebut setara dengan 29–47 persen populasi Indonesia.
Untuk itu, NFA menekankan pentingnya kerja sama lintas sektor guna mengatasi permasalahan SSP. Pelaku usaha didorong mengambil langkah konkret dalam mengurangi susut dan sisa pangan di sepanjang rantai pasok.
“Ini bukan sekadar isu pemborosan. SSP adalah masalah multidimensi yang memerlukan keterlibatan aktif berbagai pihak, termasuk distributor, pelaku ritel, hingga sektor logistik,” kata Nita.
Salah satu bentuk komitmen tersebut, lanjut dia, ditunjukkan melalui penandatanganan nota kesepahaman (MoU) Gotong Royong Atasi Susut dan Sisa Pangan (GRASP 2030) oleh sejumlah pelaku industri pangan sebagai signatories baru.
Kepala NFA, Arief Prasetyo Adi, secara terpisah menegaskan komitmen pihaknya dalam memperkuat sinergi bersama sektor swasta mulai dari produsen, distributor, pelaku ritel, hingga hotel, restoran, dan katering (horeka).
“Inovasi dalam distribusi, efisiensi penyimpanan, redistribusi pangan layak konsumsi, pendataan sisa pangan serta perubahan pola konsumsi adalah langkah yang perlu diambil bersama,” tutur Arief.
Ia menambahkan, dengan kolaborasi yang solid, sistem pangan nasional dapat menjadi lebih efisien, adil, dan berkelanjutan. “SSP bukan semata tantangan, tetapi juga peluang untuk bertindak bersama. Mari jadikan ini momentum untuk menciptakan perubahan nyata,” ujarnya.
Kegiatan yang digelar Indonesia Business Council for Sustainable Development (IBCSD) ini juga mendapat dukungan dari pemerintah, dunia usaha, asosiasi, mitra Pembangunan dan juga masyarakat.
“Kehadiran bapak serta ibu semua merupakan bukti nyata komitmen bersama dalam membangun sistem pangan Indonesia yang lebih efisien, berkeadilan dan berkelanjutan” tutur Indah Budiani, Direktur Eksekutif IBCSD.
Sementara itu Koordinator Bidang Pangan Direktorat Pangan dan Pertanian Bappenas, Ifan Martino yang mewakili Direktur Pangan dan Pertanian Bappenas, Jarot Indarto saat penutupan acara menyampaikan apresiasi atas terselenggaranya kegiatan tersebut.
“Kegiatan hari ini merupakan bentuk kolaboratif strategis yang sejalan dengan komitmen pemerintah dalam mendorong penerapan ekonomi sirkular di Indonesia. Tahun ini telah ditetapkan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2025 yang mengatur tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2025-2029.” papar Ifan Martino.
Salah satu program prioritas dalam RPJMN tersebut adalah pengembangan ekosistem ekonomi sirkular. Di dalamnya tercantum target penyelamatan pangan sebesar 3 hingga 5 persen setiap tahun. Untuk mendukung hal tersebut, telah disusun peta jalan dan rencana aksi ekonomi sirkular, termasuk peta jalan penurunan susut dan sisa pangan untuk mewujudkan ketahanan pangan secara nasional.