Jakarta, Katakini.com - Setiap kali bulan Muharram tiba, terutama menjelang Tahun Baru Islam, sebagian umat Islam kerap diliputi keraguan.
Apakah boleh merayakan awal tahun, mengadakan pesta pernikahan, atau liburan? Sebab banyak yang mengaitkan Muharram sebagai bulan yang kelam, penuh kesedihan, hingga dianggap kurang pantas untuk diisi dengan kegembiraan.
Salah satu penyebab utama munculnya anggapan tersebut adalah tragedi Karbala — peristiwa memilukan dalam sejarah Islam yang terjadi di bulan ini, dan meninggalkan duka mendalam bagi banyak kalangan.
Pada tanggal 10 Muharram, cucu kesayangan Nabi Muhammad SAW, yaitu Sayyidina Husain bin Ali RA, syahid secara tragis di padang Karbala. Kepala beliau terpenggal dan keluarganya ditawan, dalam sebuah episode sejarah yang menggetarkan perasaan umat Islam hingga hari ini.
Sebagian tradisi lokal menyikapi peristiwa Karbala dengan penuh hormat, bahkan menjadikannya waktu untuk introspeksi dan memperbanyak amal kebaikan.
Namun, menyimpulkan bahwa di bulan ini sama sekali tidak boleh menikah atau bergembira, tidak memiliki dasar syariat yang kuat. Justru Islam menganjurkan untuk memperbanyak amal saleh di bulan ini—baik itu puasa, sedekah, maupun mempererat tali silaturahmi.
Memang benar, menyikapi sejarah harus dengan rasa empati dan kesadaran. Tapi merayakan datangnya tahun baru Hijriyah bukanlah bentuk meremehkan tragedi, selama dilakukan dalam batas kesopanan, tanpa melupakan makna dan sejarah di baliknya.
Maka, menyambut bulan Muharram sepatutnya bukan dengan larangan tanpa dalil, melainkan dengan pemahaman dan penghayatan terhadap nilai-nilai sejarah, spiritualitas, dan keteladanan.
Tidak ada larangan untuk bersenang-senang atau menikah di bulan ini, selama itu tidak melanggar prinsip syariat dan tetap menjaga kehormatan bulan yang mulia ini.