• Kesra

Sejarah Penamaan Raja Ampat dan Penemuan Tujuh Telur

M. Habib Saifullah | Sabtu, 07/06/2025 16:05 WIB
Sejarah Penamaan Raja Ampat dan Penemuan Tujuh Telur Kepulauan Raja Ampat (Foto: Unsplash/sutirta budiman)

Jakarta, Katakini.com - Keindahan Raja Ampat di Papua Barat sudah diakui dunia. Gugusan pulau tropis dengan laut sebening kristal dan karang warna-warni menjadikan tempat ini sebagai destinasi impian banyak pelancong.

Namun di balik pemandangan surgawi itu, tersimpan sebuah kisah turun-temurun yang menjadi akar dari nama “Raja Ampat”. Sebuah legenda tentang tujuh telur, empat pangeran, dan kisah spiritual yang mengakar dalam budaya masyarakat setempat.

Menghimpun dari berbagai sumber, menurut legenda yang diyakini oleh masyarakat adat di Kampung Wawiyai, Pulau Waigeo, kisah ini bermula dari sepasang suami istri yang menemukan tujuh butir telur di sekitar perairan Kali Raja.

Cerita menyebutkan bahwa empat dari telur tersebut menetas menjadi empat bayi laki-laki yang kelak tumbuh menjadi raja di empat pulau besar: Waigeo, Salawati, Misool, dan Batanta.

Dari sinilah nama "Raja Ampat" berasal, yang secara harfiah berarti "Empat Raja". Tiga telur lainnya menetas menjadi makhluk berbeda—seorang perempuan, sesosok makhluk gaib, dan sebuah batu yang kemudian dikeramatkan.

Masyarakat Raja Ampat percaya bahwa keempat raja tersebut merupakan leluhur yang sakral. Bahkan, beberapa situs keramat yang dipercaya sebagai lokasi asal-usul telur-telur tersebut masih dihormati hingga kini. Batu yang disebut dalam cerita, misalnya, masih disakralkan dan dijadikan simbol spiritual oleh warga setempat.

Versi lain dari kisah ini menambahkan tokoh Gurabesi, seorang pejuang lokal yang membantu Kesultanan Tidore. Sebagai imbalan, Gurabesi diberi kekuasaan atas wilayah Raja Ampat dan menikahi putri sultan. Dalam beberapa cerita, Gurabesi-lah yang menemukan tujuh telur tersebut bersama istrinya.

Tak hanya legenda, catatan sejarah juga mencatat bahwa pada masa lampau, empat kerajaan lokal memang pernah ada di wilayah ini dan menjadi bagian dari kekuasaan Sultan Tidore.

Raja-raja ini memerintah secara otonom, namun tetap menjalin hubungan diplomatik dan perdagangan dengan kekuatan luar. Hubungan inilah yang memperkuat narasi bahwa sebutan "Raja Ampat" bukan sekadar nama puitis, tapi juga mengandung struktur sosial-politik yang nyata di masa lalu.

Menariknya, dalam praktik adat masyarakat Raja Ampat hingga kini, cerita tentang tujuh telur dan empat raja tetap hidup dalam upacara adat, tarian tradisional, hingga dalam cerita yang diceritakan kepada anak-anak.

Tradisi ini menjadi bagian dari daya tarik wisata budaya, memperkaya pengalaman pelancong yang tak hanya menikmati keindahan alam, tapi juga kisah spiritual dan sejarah lokal.