JAKARTA - Anggota Komisi XII DPR RI Syarif Fasha mengutarakan kekhawatirannya terhadap komitmen politik Pemerintah dalam mengatasi permasalahan lingkungan, terutama polusi udara di DKI Jakarta.
Ia menilai tidak adanya political will dari pemerintah di semua level kabupaten, kota, provinsi, hingga pusat yang berpotensi akan menghambat pencapaian target emisi nol bersih (Net Zero Emission) pada 2060.
"Contoh satu hal, salah satu penyumbang terbesar polusi di DKI adalah transportasi. Kalau di DKI masih ada kendaraan tahun 1978 yang asapnya seperti fogging, bagaimana mungkin kita bisa bicara 2060 bebas emisi?” ujar Legislator Fraksi Partai Nasdem ini.
Hal tersebut disampaikan Syarif dalam audiensi Komisi XII DPR RI dengan Institute for Essential Services Reform (IESR), pada Senin (5/5/2025), di Jakarta.
Ia menegaskan bahwa temuan-temuan semacam ini seharusnya menjadi perhatian IESR sebagai lembaga akademis yang ikut mengawal transisi energi nasional. Tanpa pembatasan ketat terhadap sumber emisi, menurutnya, target Emisi Nol Bersih pada 2060 menjadi tidak realistis.
“Temuan-temuan begini sampaikan, IESR ini kan akademisi. Kalau tidak kita lakukan pembatasan-pembatasan ini, maka mustahil akan tercapai 2060 ini bebas emisi. Karena kalau DKI ini emisinya sudah jauh dibawah ambang batas, berarti Indonesia sudah boleh disebut mencapai 2060 bebas emisi, kuncinya ada di DKI ini,” ujarnya mengingatkan.
Senada, Wakil Ketua Komisi XII DPR RI Sugeng Suparwoto dalam kesempatan yang sama menambahkan bahwa DKI Jakarta tercatat sebagai kota dengan kualitas udara terburuk di dunia pada 18 Agustus 2024. Selain transportasi, faktor lain yang memperparah kondisi udara adalah keberadaan 10 PLTU berbasis batu bara di sekitar ibu kota.
Sugeng juga menyoroti budaya penggunaan kendaraan tua dan belum diterapkannya standar bahan bakar ramah lingkungan secara menyeluruh di Indonesia. Mayoritas BBM yang dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia seperti Pertalite dengan RON 90 masih memiliki kandungan sulfur tinggi, sementara dunia sudah beralih ke Euro 5,” kata dia.
“Kebijakan pemerintah tentang BBM yang ramah lingkungan yakni Euro 5 yaitu Pertamax Plus dan Pertamax Turbo belum diterapkan di Indonesia, jadi kita masih konsumsi terbesar termasuk di DKI adalah Pertalite dengan RON 90 dengan tingkat sulfur yang masih sangat tinggi, nah dunia sudah Euro 5. Itu problem problem yang juga kita hadapi,” ujar Sugeng menyayangkan.