Jakarta, Katakini.com - Istilah "preman" sudah begitu akrab di telinga masyarakat Indonesia. Kata ini sering kali merujuk pada sosok laki-laki bertubuh kekar, bertato, dan kerap terlibat dalam aksi kekerasan, pungutan liar, atau penguasa jalanan.
Namun secara etimologis, istilah "preman" sebenarnya berasal dari kata “vrijman” dalam bahasa Belanda, yang berarti orang merdeka atau tidak terikat kontrak kerja, terutama dalam konteks kolonial.
Menghimpun dari berbagai sumber, di masa penjajahan Belanda, istilah vrijman digunakan untuk menyebut buruh-buruh pribumi yang bekerja secara lepas dan tidak terikat oleh sistem kerja paksa seperti sistem tanam paksa atau kerja rodi.
Seiring waktu, istilah ini bergeser makna dan mulai digunakan secara peyoratif untuk menyebut orang-orang yang hidup di luar sistem sosial resmi dan kerap diasosiasikan dengan tindakan kriminal.
Pada masa-masa awal kemerdekaan Indonesia, keberadaan preman memiliki peran yang ambigu. Dalam kajian sejarah sosial, seperti yang ditulis oleh peneliti Ariel Heryanto dan Robert Cribb, preman kerap menjadi bagian dari kekuatan informal yang membantu kelompok-kelompok tertentu, termasuk partai politik atau pengusaha, dalam menunjukkan kekuasaan di wilayah tertentu.
Bahkan, di beberapa kasus, mereka turut terlibat dalam revolusi fisik melawan Belanda dan Jepang.
Memasuki era Orde Baru, peran preman semakin kompleks. Pemerintah di bawah rezim Soeharto kerap menggunakan kelompok preman sebagai alat kekuasaan tidak resmi untuk mengintimidasi lawan politik, mengontrol organisasi mahasiswa, hingga mengamankan kepentingan bisnis tertentu.
Premanisme dilembagakan secara informal melalui hubungan patron-klien antara penguasa dan aktor-aktor jalanan.
Salah satu bentuk paling menonjol dari premanisme terorganisasi adalah keberadaan kelompok-kelompok “ormas” atau organisasi masyarakat yang berperan ganda—di satu sisi bergerak dalam kegiatan sosial, di sisi lain menjadi alat kekuatan informal.
Dalam laporan Human Rights Watch dan berbagai jurnal kriminologi, disebutkan bahwa banyak kelompok semacam ini yang memiliki pengaruh kuat di daerah tertentu dan turut andil dalam politik lokal.
Setelah reformasi 1998, wacana pemberantasan premanisme sempat menguat. Aparat kepolisian beberapa kali melakukan operasi besar-besaran terhadap preman, terutama di wilayah perkotaan seperti Jakarta dan Surabaya.
Namun, praktik premanisme tidak pernah benar-benar hilang. Dalam banyak kasus, preman masih beroperasi dalam bentuk pungutan liar di terminal, pasar, kawasan parkir, hingga proyek-proyek pembangunan.