Jakarta, Katakini.com - Dalam ajaran Islam, wanita yang sedang mengalami haid memiliki beberapa ketentuan khusus yang harus diperhatikan, sebagai bagian dari aturan syariat yang ditetapkan berdasarkan dalil Al-Qur`an dan hadits Nabi Muhammad SAW.
Menurut para ulama, darah haid termasuk dalam kategori hadas besar yang menghalangi seseorang untuk melakukan ibadah-ibadah tertentu yang mensyaratkan kesucian.
Meski demikian, wanita haid tetap bisa mendapatkan pahala melalui ibadah-ibadah lain yang tidak dilarang.
Wanita haid dilarang melaksanakan shalat wajib maupun sunnah. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW:
"Bukankah apabila wanita sedang haid, ia tidak shalat dan tidak puasa?" (HR. Bukhari no. 304 dan Muslim no. 80)
Wanita haid juga tidak diperbolehkan berpuasa. Jika haid datang saat Ramadhan, maka ia harus mengganti puasanya di luar bulan tersebut.
Mayoritas ulama melarang wanita haid menyentuh mushaf Al-Qur’an secara langsung, sementara untuk membaca Al-Qur’an, terjadi perbedaan pendapat.
Mazhab Syafi’i melarangnya, sedangkan sebagian ulama membolehkan membaca tanpa menyentuh, khususnya untuk zikir atau hafalan.
Wanita haid tidak diperbolehkan tinggal berdiam di dalam masjid, namun, sebagian ulama membolehkan jika hanya lewat atau jika tempat itu bukan masjid permanen dan tidak dikhususkan untuk ibadah.
Dalam ibadah haji atau umrah, thawaf disamakan dengan shalat, sehingga wanita haid tidak diperbolehkan melakukannya. Namun, ibadah lain seperti sai dan wukuf tetap sah dilakukan selama tidak berada dalam kondisi najis besar lainnya.
Suami dilarang berhubungan badan dengan istri yang sedang haid.
Ulama sepakat bahwa mushaf Al-Qur’an tidak boleh disentuh kecuali oleh orang yang suci dari hadas besar. Maka wanita haid dianjurkan membaca dzikir atau mendengarkan bacaan Al-Qur’an sebagai alternatif ibadah.