JAKARTA – Indonesia National Air Carrier Association (INACA) menilai industri penerbangan Indonesia sepanjang tahun 2024 tidak baik-baik saja, meskipun akhirnya ada kebijakan pemerintah yang dinilai menjadi titik terang bagi industry tersebut.
“Industri penerbangan nasional sesungguhnya merupakan industri yang mempunyai pengaruh cukup besar pada perekonomian Indonesia,” kata Ketua Umum INACA Denon Prawiraatmadja melalui keterangannya di Jakarta, Senin (30/12/2024).
Mengutip catatan Asosiasi Maskapai Penerbangan Internasional (IATA), kontribusi industri penerbangan nasional dan sektor-sektor terkait seperti pariwisata dan perdagangan terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada tahun 2023 mencapai 62,6 miliar dollar AS atau Rp1.001,6 trilliun (kurs Rp16.000,-), setara 4,6% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
“Jumlah tenaga kerja yang terkait di industri ini totalnya mencapai 6 juta orang,” kata Denon.
Menurut catatan INACA, ada beberapa hal yang membuat industri penerbangan nasional masih tidak baik-baik saja selama tahun 2024 di antaranya akibat biaya penerbangan masih tinggi akibat nilai tukar dollar AS terhadap Rupiah yang terus tinggi.
“Naiknya kurs dollar AS ini mempengaruhi harga avtur, harga spareparts, sewa pesawat dan komponen lainnya yang menggunakan acuan mata uang dollar AS, sehingga membuat naiknya biaya yang ditanggung maskapai penerbangan,” katanya.
Penyebab lainnya, masih belum ada revisi peraturan terkait Tarif Batas Atas (TBA) dan Tarif Batas Bawah (TBB) sejak tahun 2019. Kemudian bea masuk bagi sebagian besar spareparts pesawat sebesar 2,5% hingga 22,5%. Dari 472 HS Code spareparts pesawat, baru 123 HS Code yang mendapat bea masuk 0%.
Denon juga menyebutkan, adanya backlog pesawat dan spareparts secara global dampak dari pandemi Covid-19, sehingga mempengaruhi jumlah pesawat yang tersedia dan siap untuk terbang (airwhorthy).
Juga terjadi penurunan daya beli masyarakat sehingga berakibat berkurangnya jumlah penumpang pesawat maskapai berjadwal rute domestik.
“Pada periode Januari – September 2024, data sementara jumlah penumpang pesawat maskapai berjadwal rute domestik berjumlah 44.3 juta penumpang, lebih rendah 10% dari periode Januari – September 2023 yang berjumlah 49.2 penumpang,” sebut Denon.
Kondisi keselamatan penerbangan juga menurun. Menurut data dari Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), pada Januari – Desember tahun 2023 jumlah kecelakaan sebanyak 9 kali dan kejadian serius sebanyak 13 kali.
Sedangkan di bulan Januari – awal bulan Desember tahun 2024, jumlah kecelakaan sebanyak 9 kali dan kejadian serius sebanyak 15 kali.
Namun demikian, INACA juga mengakui melihat setitik sinar terang, di antaranya akibat diterbitkannya Peraturan Menteri Perdagangan No. 3 tahun 2024 pada Maret 2024 yang membebaskan industri penerbangan dari kebijakan Larangan dan Pembatasan (LARTAS) impor spareparts pesawat.
Kemudian diterbitkannya surat dari Deputi Gubernur BI no. 26/1/DpG-DKSP/Srt/B tentang Penundaan Implementasi Kewajiban Penggunaan Rupiah bagi Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Tidak Berjadwal yang berlaku dari bulan Juni 2024 sampai dengan bulan Juni 2026.
“Pemerintah juga membahas secara konprehensif permasalahan industri penerbangan, mulai dari bisnis dan operasional penerbangan sampai dengan hal-hal pendukungnya yang dimulai pada bulan Juli hingga bulan Oktober 2024,” kata Denon.
“Diskon biaya kebandarudaraan (PJP4U dan PJP2U) serta pengurangan fuel surcharge yang dipadukan dengan diskon harga avtur selama periode Natal 2024 dan Tahun Baru 2025 sehingga dapat menurunkan harga tiket pesawat domestik rata-rata sebesar 10%,” imbuhnya.
Melihat kondisi penerbangan tahun 2024 yang tidak baik-baik saja, INACA berharap pada tahun 2025 mendatang ada peningkatan perhatian dari pemerintah untuk melanjutkan kembali pembahasan permasalahan industri penerbangan secara komprehensif mulai dari bisnis dan operasional penerbangan sampai dengan hal-hal pendukungnya.
Kemudian, peningkatan perhatian terhadap kondisi finansial maskapai penerbangan terutama maskapai penerbangan berjadwal dan perintis.
“Mengingat maskapai ini sebagai aktor utama di industri penerbangan yang sangat dibutuhkan masyarakat Indonesia,” katanya.
Selanjutnya INACA berharap ada peningkatan kebijakan yang tegas dari pemerintah terkait posisi bisnis penerbangan (transportasi udara), apakah termasuk barang mewah atau termasuk barang kebutuhan pokok transportasi umum bagi masyarakat. Ketegasan ini akan berpengaruh terhadap pajak-pajak yang dikenakan dan akhirnya akan dibebankan kepada masyarakat dalam bentuk harga tiket.
Juga harus ada peningkatan perhatian yang lebih serius dalam implementasi safety management system (SMS) dan peningkatan safety culture dalam operasional penerbangan dari semua stakeholder baik itu regulator (pemerintah), operator penerbangan (maskapai, bandara, MRO dll), dan masyarakat.
“Hal tersebut mengingat kondisi keselamatan penerbangan global dan nasional yang menantang pada akhir-akhir ini dan adanya kekhawatiran backlog beberapa spareparts penting dari pesawat yang banyak dioperasikan maskapai penerbangan di tahun 2025 mendatang,” pungkas Denon.