JAKARTA - Jalan Malioboro merupakan salah satu destinasi paling terkenal di Yogyakarta. Lebih dari sekadar tempat wisata, Malioboro memiliki sejarah panjang yang terkait dengan perkembangan budaya, ekonomi, dan politik Yogyakarta.
Berikut ini lima fakta menarik tentang sejarah Jalan Malioboro yang menjadikannya ikon istimewa:
Ada beberapa teori tentang asal usul nama Malioboro. Salah satu teori menyebutkan bahwa nama ini berasal dari kata bahasa Inggris, "Marlborough", yang merujuk pada seorang tokoh militer Inggris, Duke of Marlborough. Teori ini mengaitkan nama tersebut dengan masa pendudukan Inggris di Indonesia pada awal abad ke-19.
Namun, ada juga yang percaya bahwa Malioboro berasal dari bahasa Jawa, yaitu "maliabara", yang berarti "karangan bunga." Ini sesuai dengan tradisi masyarakat yang sering menghiasi jalan ini dengan bunga dalam acara besar keraton.
Jalan Malioboro merupakan salah satu bagian penting dari garis imajiner yang menghubungkan Gunung Merapi, Keraton Yogyakarta, dan Laut Selatan. Garis ini mencerminkan filosofi kepercayaan Jawa tentang harmoni antara manusia, alam, dan Sang Pencipta.
Dalam konteks ini, Malioboro dianggap sebagai jalur kehidupan yang menghubungkan keraton sebagai pusat budaya dengan elemen alam yang lebih luas.
Pada masa penjajahan, terutama saat Revolusi Kemerdekaan Indonesia, Malioboro menjadi saksi bisu berbagai aksi perlawanan rakyat Yogyakarta. Jalan ini menjadi pusat pergerakan para pejuang yang menggunakan toko dan rumah di sekitar Malioboro sebagai tempat persembunyian dan strategi melawan penjajah.
Salah satu momen penting adalah peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949, di mana Malioboro menjadi salah satu jalur strategis yang dikuasai oleh pejuang Indonesia untuk menunjukkan eksistensi Republik Indonesia.
Pada masa kolonial Belanda, Malioboro adalah jalan utama yang menghubungkan Keraton Yogyakarta dengan Benteng Vredeburg. Benteng ini dibangun oleh pemerintah kolonial sebagai simbol kekuatan mereka.
Jalan Malioboro pada masa itu dikelilingi oleh bangunan khas kolonial, seperti toko, kantor pemerintahan, dan hotel yang digunakan oleh pejabat Belanda. Hingga kini, beberapa bangunan peninggalan kolonial, seperti Hotel Inna Garuda, masih berdiri dan menjadi ikon sejarah.
Awalnya, Jalan Malioboro adalah pusat perdagangan tradisional, tempat para pedagang menjual kebutuhan sehari-hari. Namun, sejak tahun 1970-an, Malioboro mulai berkembang menjadi kawasan wisata yang terkenal dengan berbagai toko, pedagang kaki lima, dan seniman jalanan.
Kawasan ini juga identik dengan Pasar Beringharjo, yang menjual berbagai produk lokal, seperti batik, kerajinan tangan, dan makanan tradisional. Hingga saat ini, Malioboro menjadi salah satu pusat ekonomi kreatif dan kebudayaan di Yogyakarta.